Minggu, 04 Januari 2009

SISTEM PENDIDIKAN

SISTEM PENDIDIKAN
(Studi Komparasi antara Indonesia dan Jepang)

Achmadi* dan Mahasri Shobahiya**
*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
** Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Kartasura, Surakarta 57102
E-mail: mahasrishobahiya@Yahoo.co.id


Abstrak

Ada beberapa jalur untuk mengenal budaya dari suku, bangsa atau negara lain. Pertama, melalui sarana perniagaan atau kehidupan ekonomi. Kedua, melalui penaklukan atau peperangan. Ketiga, adanya kontak antar negara melalui kerja sama bilateral yang bersifat mutual-cooperation, baik dalam bentuk pertukaran para ahli maupun pengembangan di bidang pengetahuan. Kontak antar negara dalam bentuk kerja sama pengembangan pendidikan secara langsung maupun tidak langsung akan sangat bermanfaat untuk memperluas cakrawala terhadap pendidikan nasional dan diharapkan dapat mengambil nilai-nilai positif dari negara tertentu untuk menunjang usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional. Berdasarkan hal itu, dalam tulisan ini memaparkan sebagian kecil sistem pendidikan negara Jepang, baik pendidikan secara umum maupun pendidikan agama, untuk kemudian dikaji persamaan dan perbedaannya dengan sistem yang dikembangkan di Indonesia.

Kata kunci: Perbandingan pendidikan, Sistem pendidikan, Jepang, Indonesia.


Pendahuluan
Bagaimana suatu bangsa dapat mengenal bangsa lain? Ada beberapa cara yang menyebabkan suatu suku, bangsa, atau negara dapat mengenal budaya di luar suku, bangsa, atau negaranya sendiri. pertama, melalui sarana perniagaan atau kehidupan ekonomi. Kontak perdagangan ini merupakan kondisi tak terelakkan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang kian berkembang, saling memerlukan barang dan jual-beli benda. kontak ini merupakan awal terjadinya interaksi antar bangsa, terlebih setelah pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan sarana alat transformasi. Seluruh pelosok daerah menjadi mudah dijangkau dan pertukaran barangpun menjadi lancar sehingga para pelaku pasar saling mengamati kebutuhan penduduk setempat. Adat istiadat lokal, termasuk praktek pendidikan yang dilaksanakan di negara atau bangsa yang dikunjungi dapat dikenal tanpa sengaja. Dari situ kemudian terjadilah kontak dengan budaya lain di luar bangsanya. Pengamatan ini dalam jangka panjang dapat menjadi faktor kuat terjadinya pembaharuan pendidikan suatu bangsa.
Kedua, melalui penaklukan atau peperangan. Umumnya bangsa pemenang akan tampil sebagai penguasa, kadangkala diikuti dengan perubahan mendasar dalam hal sistem kebijakan pendidikan yang berlaku sebelumnya di negara yang ditaklukkan, meskipun kadang-kadang sistem dan kebijakan pendidikan sebelumnya ada yang tetap dipertahankan. Ketika terjadi imperialisme bangsa Barat terhadap negara berkembang, upaya pengenalan pendidikan kolonial dilakukan dengan tujuan asosiasi budaya, seperti yang pernah diterapkan olah Belanda terhadap Indonesia, Perancis terhadap Mesir, atau Inggris terhadap India, Malaysia, dan lainnya.
Ketiga, adanya kontak antar negara melalui kerja sama bilateral yang bersifat mutual-cooperation, baik dalam bentuk pertukaran para ahli maupun pengembangan di bidang pengetahuan. Termasuk jalur ini adalah pertukaran diplomatik, budaya, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, atau kerja sama luar negeri di bidang pendidikan (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 24-25).
Kontak antar negara dalam bentuk kerja sama pengembangan pendidikan secara langsung maupun tidak langsung akan sangat bermanfaat untuk memperluas cakrawala terhadap pendidikan nasional dan diharapkan dapat mengambil nilai-nilai positif dari negara tertentu untuk menunjang usaha peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sistem pendidikan yang dikembangkan di Jepang dengan membandingkannya dengan sistem pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Perbandingan ini untuk melihat persamaan dan perbedaan sistem pendidikan yang dikembangkan di kedua negara tersebut.


Sistem Pendidikan Jepang
Peraturan pendidikan di Jepang dapat dibedakan dalam dua periode, yaitu sebelum dan sesudah perang Dunia II. Sebelum perang, kebijakan pendidikan yang berlaku adalah Salinan Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan (Imperial Rescript on Education). Dinyatakan bahwa para leluhur Kaisar terdahulu telah membangun Kekaisaran dengan berbasis pada nilai yang luas dan kekal, serta menanamkannya secara mendalam dan kokoh. Materi pelajarannya dipadukan dalam bentuk kesetiaan dan kepatuhan dari generasi ke generasi yang menggambarkan keindahannya. Itulah kejayaan dari karakter Kaisar, dan ia juga telah mengendalikannya dengan sumber-sumber berpendidikan. Pendidikan hendaknya mampu mengafiliasikan seseorang kepada orang tuanya, suami isteri secara harmoni, sebagai sahabat sejati, menjadi diri sendiri yang sederhana dan moderat, mencurahkan kasih sayang kepada semua pihak, serta menuntut ilmu dan memupuk seni. Dari situlah pendidikan tersebut dapat mengembangkan daya intelektual dan kekuatan moralnya yang sempurna, selalu menghormati konstitusi, dan menjalankan hukum. Dalam kondisi darurat sekalipun, diharapkan dapat mempersembahkan keberanian demi negara, melindungi dan menjaga kesejahteraan istana Kaisar seusia langit dan bumi. Maka, tidaklah menjadi orang yang baik dan setia semata, melainkan mampu melanjutkan tradisi leluhur yang amat mulia.
Sesudah perang, mulai 3 November 1946, konstitusi baru Jepang menetapkan kebijakan pendidikannya atas dasar hak asasi manusia, jaminan kebebasan berfikir, dan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan akademik, dan hak bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan mereka. Pada Maret 1947, melalui Peraturan Pendidikan Nasional (School Education Law) ditetapkan susunan dasar pendidikan keseluruhan atas dasar 6-3-3-4 beserta tujuan khusus pada tiap jenjangnya (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 187-189).
Pada Maret 1947 juga berlaku Hukum Dasar Pendidikan (Fundamental Law of Education) yang pada hakekatnya merupakan statement filsafat pendidikan demokratis yang dalam banyak hal berbeda dengan Imperial Rescript on Education. Misalnya, dalam hubungan antara warga dengan negara, dalam Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa, Citizens have the duty to develop their intellectual and moral faculties, observethe laws, and offer themselves courageously to the State in order the quard and maintain the prosperity of Imperial throne (Imam Barnadib, 1986: 53), (setiap warga memiliki kewajiban untuk mengembangkan daya intelektual dan moral mereka, melaksanakan hukum dan mempersembahkan keberaniannya demi negara untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan istana Kaisar). Sedangkan dalam Fundamental Law of Education disebutkan bahwa, Citizen have the right to equal opportunity or receving education according to their ability; freedom from discrimination on acaount of race, cree sex, social status, economic position, or family origin; financial assistance, to the able needy, academin freedom, and the responsibility to build a peaceful State and society (Imam Banrnadib, 1986: 53), (Setiap warga memiliki kesempatan yang sama menerima pendidikan menurut kemampuan mereka, bebas dari diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, status sosial, posisi ekonomi, asal usul keluarga, bantuan finansial, bagi yang memerlukan, kebebasan akademik, dan tanggung jawab untuk membangun negara dan masyarakat yang damai). Perbedaan yang lain adalah mengenai tujuan pendidikan. Dalam Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan kesetiaan dan ketaatan bagi Kaisar agar dapat memperoleh persatuan masyarakat di bawah ayah yang sama, yakni Kaisar. Adapun tujuan pendidikan menurut Fundamental Law of Education adalah untuk meningkatkan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa yang bebas.
Sistem pendidikan di Jepang dibangun atas empat tingkat, yaitu: pusat, perfektual (antara Provinsi dan Kabupaten), municipal (antara Kabupaten dan Kecamatan), dan sekolah. Sistem administrasi tersebut menerapkan kombinasi antara sentralisasi, desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), dan partisipasi masyarakat. Di samping itu, terdapat asosiasi-asosiasi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua yang mendukung pengembangan sekolah. Dalam sistem tersebut terdapat peran dan hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, seklah, asosiasi-asosiasi tersebut, dan masyarakat yang saling mengisi sehingga tercipta sinergi yang memungkinkan sistem tersebut menjadi relatif efisien dan efektif. Hal ini merupakan faktor utama pencapaian mutu pendidikan di Jepang yang relatif tinggi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 175).
Adapun sistem pendidikan umum di Jepang ditetapkan lebih dari satu abad yang lalu dan keberadaannya berlangsung lebih lama dari pada kebanyakan negara. Sistem pendidikan Jepang pada dasarnya adalah Sekolah Dasar (SD) 6 (enam) tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 (tiga) tahun, Sekolah Menengah Atas (SMA) 3 (tiga) tahun, Universitas 4 (empat) tahun, dan Lembaga Pendidikan Tinggi 2 (dua) tahun. Wajib belajar adalah dari SD sampai SMP. Untuk masuk SMA dan Universitas pada dasarnya harus mengikuti ujian masuk. Selain sekolah tersebut, ada sekolah kejuruan atau sekolah khusus yang menampung lulusan SD atau SMP. Sekolah ini mengajarkan keterampilan khusus (http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-01.html). Di samping beberapa jenjang pendidikan tersebut, di Jepang juga terdapat program pendidikan prasekolah, baik dalam bentuk Taman Kanak-Kanak (TK) maupun Play Group (PG).
Jika dilihat dari pengelola sekolah, dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu Sekolah Negeri adalah sekolah yang dikelola pemerintah, Sekolah provinsi adalah sekolah yang dikelola pemerintah daerah, Sekolah Swasta adalah sekolah yang dikelola badan hukum. Sedangkan apabila dilihat dari tahun ajarannya, seklah dimulai bulan April dan berakhir pada bulan Maret tahun berikutnya (http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-01.html).
Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Kelompok Bermain (KB) atau Play Group (PG) dan Taman Kanak-Kanak (TK).
Play Group (PG) adalah merupakan fasilitas yang disediakan bagi para orang tua yang bekerja sehingga tidak dapat mengasuh anaknya di siang hari. Pendaftaran murid baru dimulai setiap awal Januari. Permohoman untuk masuk ke PG ini dilakukan di kantor pemerintahan setempat karena terbatasnya jumlah tempat untuk masuk ke kelompok bermain ini. Biaya pengasuhan disesuaikan dengan pendapatan per kapita orang tua pada tahun sebelumnya yang diatur pemerintah wilayah kota setempat (http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id11-04.html). Lembaga ini disebut Hoiku-jo (Pusat Perawatan Siang Hari), dan termasuk lembaga kesejahteraan sosial, di samping juga berfungsi sebagai tempat pendidikan prasekolah. Peserta yang masuk Hoiku-jo adalah bayi hingga anak usia 5 tahun. Mereka yang berusia 3 tahun ke atas biasanya mendapat pendidikan seperti TK. Kebanyakan pusat penitipan anak seperti ini dikelola oleh pemerintah daerah.
Abd. Rahman Assegaf (2003: 176-177) memaparkan bahwa TK di Jepang menerima murid berusia 3 sampai 5 tahun untuk lama pendidikan 1 sampai 3 tahun. Anak berusia 3 tahun diterima dan mengikuti pendidikan selama 3 tahun, sedangkan anak berusia 4 tahun mengikuti pendidikan selama 2 tahun dan bagi pendaftar berusia 5 tahun hanya menempuh pendidikan prasekolah selama 1 tahun. Lebih dari 50% TK di Jepang dikelola oleh swasta, sisanya oleh pemerintah kota dan hanya sebagian kecil yang merupakan TK Negeri. Meski demikian, semua TK adalah pendidikan prasekolah di bawah naungan Departemen Ilmu Pengetahuan Pendidikan dan Kebudayaan yang dikelola berdasarkan hukum pendidikan (http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-02.html).
TK atau yang disebut youchien bertujuan untuk mengasuh anak-anak usia dini dan memberikan lingkungan yang layak bagi perkembangan jiwa anak. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa cara yang dilakukan, antara lain: (1) Merancang pendidikan yang mengembangkan fungsi tubuh dan jiwa secara harmoni melalui pembiasaan pola hidup yang sehat, aman, dan menyenangkan; (2) Menumbuhkan semangat kemandirian, kehidupan berkelompok yang penuh kegembiraan dan kerjasama; (3) Mengenalkan kehidupan sosial dan membina kemampuan bersosialisasi; (4) Mengarahkan penggunaan bahasa dengan benar serta menumbuhkan minat berkomunikasi dengan sesama; (5) Mengarahkan minat untuk berkreasi melalui pembelajaran musik, permainan, menggambar dan lain-lain.
Berpijak pada tujuan tersebut, TK menginterpretasikan dalam silabus pembelajaran yang dimungkinkan sama di setiap sekolah. Contoh: jam belajar sehari di TK di Sono Youchien, Iwakura, Aichi Prefecturte sebagai berikut:

Nama Kelas Momiji 2 Umur:…th TTD
Kepsek TTD
Guru



Senin, 12-6-2006 Cuaca Nama Guru

Pesan Mingguan Udara cerah, bermain di luar. Jika hujan, kegiatan dilakukan di dalam kelas
Latihan gerak dengan musik yang menyenangkan.
Menumbuhkan minat kepada Tsuyu. (musim hujan, di bulan Juni, sebagian wilayah Jepang hujan)
Pesan Harian Guru memberi contoh yang baik.
Anak yang enggan bermain disemangati.
Tujuan Exercise
Hari ini

Jam Kegiatan Lingkungan dan Kondisi
Murid Pesan/Tindakan Guru
8.50 Masuk
kelas Taruh barang di loker, kemudian duduk di bangku Ucapan (selamat pagi) dengan wajah gembira. Periksa keadaan murid satu per satu sambil menanyakan kabar masing-masing anak
9.05 Pengenalan exercise hari ini
Absen Ucapan selamat di pagi hari, lagu dan absensi.
Kartu absen diisi Sambil mengabsen, menanyakan perubahan kondisi anak
9.15 Break ke toilet Latihan cara buang air sendiri, cebok, dan mencuci tangan dengan sabun Memeriksa apakah tata caranya sudah benar, membenarkan yang salah
9.20 Menyanyi Ada anak yang menyanyi dengan semangat, ada juga yang loyo Sambil memperhatikan keadaan anak satu per satu, mainkan piano sesuai dengan kemampuan anak, juga ajarkan anak untuk menyesuasikan dengan suara temannya (intinya bikin paduan suara yang bagus)
9.45 Senam pagi Senam di halaman sekolah
10.00 Masuk kelas
Copot kaus kaki Kaus kaki dicopot, disatukan dan dimasukkan dalam loker Perhatikan apakah siswa mencopot kaus kaki dengan benar dan melipatnya/menggulungnya dengan benar. berikan bantuan jika anak belum bisa melakukannya dengan baik.
10.20 Ritmik Ada anak yang semangat, ada anak yang lemes Dengarkan ucapan Fujikawa sensei (guru ritmik yang memainkan piano didatangkan khusus), dengarkan dengan baik nada yang muncul dan bimbing anak untuk mengikutinya
10.45 Bermain Pakai topi merah, bermain di luar kelas/di kebun/halaman sekolah Ikuti dan amati anak-anak yang bermain kalau bisa arahkan, bantu mereka dalam bermain.
11.45 Alat bermain dirapikan, masuk kelas, bersiap makan Cuci tangan dan ugai (memasukkan air ke tenggorokan tapi tidak ditelan, untuk mencegah batuk/pilek) sebelum masuk kelas, yang mau ke toilet dipersilahkan. Masuk ke kelas dan mengeluarkan bento (bekal) masing-masing. Periksa perlengkapan makan anak
12.00 Makan siang Cara duduk untuk makan yang benar
Apakah perlengkapan makan anak lengkap, jika ada yang lupa bawa sendok atau sumpit, siapkan Perhatikan cara makan, ajari cara menggunakan sumpit, sendok atau garpu. Usahakan acara makan pun menyenangkan
12.40 Gosok gigi Gosok gigi di luar kelas, di seputar kran air (letaknya di lantai 1 dengan bentuk melingkar) Perhatikan dan ajari cara menggosok gigi yang benar.
13.00 Game Bermain permainan tradisional atau modern. Ada anak yang berminat, ada yang tidak. Perhatikan kemampuan anak dalam bekerjasama, tumbuhkan rasa percaya diri anak yang malu-malu.
13.30 Bermain di luar
14.00 Berkumpul, bersiap untuk pulang Cuci tangan, ugai, pipis
Bersiap untuk pulang Ucapkan (besok pun harus bersemangat ke sekolah) dengan gembira dan bersemangat
14.25 Menyanyi lagu salam perpisahan Menyanyi dengan gembira, tenang dalam berbaris.
Baris per kelas di depan sekolah Antarkan kepulangan mereka dengan senyum, gembira dan ucapan-ucapan yang menyemangati
15.00 Pulang

(http://murniramli.wordpress.com/2007/03/06taman-kanak-kanak-di-jepang/)

Pendidikan Wajib
Wajib sekolah berlaku bagi anak usia 6 sampai 15 tahun, tetapi kebanyakan anak bersekolah lebih lama dari yang diwajibkan. Tiap anak bersekolah di SD pada usia 6 tahun hingga 12 tahun, lalu SMP hingga usia 15 tahun. Pendidikan wajib ini bersifat cuma-cuma bagi semua anak, khususnya biaya sekolah dan buku. Untuk alat-alat pelajaran, kegiatan di luar sekolah, piknik dan makan siang di sekolah perlu membayar sendiri. namun bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu ada juga bantuan untuk kebutuhan belajar, perawatan kesehatan, dan lain-lain. Seorang anak yang telah tamat SD diwajibkan meneruskan pendidikannya ke jenjang SMP. Dengan demikian, sekolah wajib ditempuh selama 9 tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP (http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-03.html).
Hampir semua siswa di Jepang belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama SMP, dan kebanyakan mempelajarinya paling tidak selama 6 tahun. Mata pelajaran wajib di SMP adalah bahasa Jepang, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, seni rupa, pendidikan jasmani, dan pendidikan kesejahteraan keluarga. Berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu sehingga jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 177-178).
Pendidikan Menengah Atas
Ada tiga jenis SMA, yaitu: full time, part time (terutama malam hari), dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3 tahun, sedangkan kedua jenis sekolah lainnya menghasilkan diploma yang setara. Bagian terbesar siswa mendapat pendidikan menengah atas di SMA full time. Jurusan di SMA dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan pola kurikulum, yaitu jurusan umum (akademis), pertanian, teknik, perdagangan, perikanan, home economic, dan perawatan. Untuk masuk ke salah satu jenis sekolah tersebut, siswa harus mengikuti ujian masuk dan membawa surat referensi dari SMP tempat ia lulus sebelumnya.
Hampir semua SMP dan SMA serta Universitas swasta menentukan penerimaan siswa melalui ujian masuk, dan setiap sekolah menyelenggakan ujian masuk sendiri. Siswa yang ingin masuk sekolah yang bersangkutan harus mengikuti ujian. Karena ujian masuk sangat sulit, siswa kerap mengikuti les tambahan (bimbingan belajar) di juku atau yobiko pada akhir pekan atau pada sore/malam hari biasa, selain pelajaran sekolahnya (Abd Rachman Assegaf, 2003: 178-179).
Pendidikan Tinggi
Ada tiga jenis lembaga pendidikan tinggi, yaitu: universitas, junior college (akademi), dan technical college (akademi teknik). Di universitas terdapat pendidikan sarjana (S-) dan pascasarjana (S-2 dan S-3). Pendidikan S-1 berlangsung selama 4 tahun, menghasilkan sarjana bergelar Bachelor’s degree, kecuali di fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang berlangsung selama 6 tahun. Pendidikan pascasarjana dibagi dalam dua kategori, yakni Master’s degree (S-2) ditempuh selama 2 tahun sesudah tamat S-1dan Doctor’s degree (S-3) ditempuh selama 5 tahun.
Junior college memberikan pendidikan selama dua atau tiga tahun bagi para lulusan SMA. Kredit yang diperlukan di junior college dapat dihitung sebagai bagian dari kredit untuk memperoleh gelar Bachelor’s degree (S-1). Lulusan sekolah menengah (setingkat SMP) dapat masuk ke technical college (akademi teknik). Pendidikan di lembaga ini berlangsung selama 5 tahun (full time) untuk mencetak tenaga teknisi. Universitas dan junior college memilih mahasiswanya berdasarkan hasil ujian masuk serta hasil prestasi belajar dari SMA. Untuk sekolah negeri dan umum daerah, sejak tahun 1979 diberlakukan “tes gabungan kecakapan” yang seragam, sebagai tahap pertama dari sistem ujian masuk. Tahap kedua berupa ujian masuk universitas yang bersangkutan sebagai seleksi final.
Pendidikan tinggi di Jepang berada di bawah pengelolaan tiga lembaga, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Ada lima jenis pendidikan tinggi yang bisa dipilih mahasiswa asing di negara Jepang ini, yaitu: program sarjana, pascasarjana, diploma (non gelar), akademi, dan sekolah kejuruan. Program sarjana menerima tiga macam mahasiswa, yaitu: mahasiswa reguler, mahasiswa pendengar, dan mahasiswa pengumpul kredit. Mahasiswa reguler adalah mereka yang belajar selama 4 tahun, kecuali jurusan kedokteran yang harus menempuh 6 tahun. Mahasiswa pendengar adalah mahasiswa yang diijinkan mengambil mata kuliah tertentu dengan syarat dan jumlah kredit yang berbeda di setiap universitas tetapi kredit itu tidak diakui. Adapun mahasiswa pengumpul kredit hampir sama dengan mahasiswa pendengar, tetapi kreditnya diakui.
Sedangkan program pascasarjana terdiri atas program Master, Doktor, Mahasiswa Peneliti, Mahasiswa Pendengar, dan Pengumpul Kredit. Mahasiswa Peneliti adalah mahasiswa yang diijinkan melakukan penelitian dalam bidang tertentu selama 1 semester atau 1 tahun tanpa tujuan mendapatkan gelar. Program ketiga adalah diploma, yang lama pendidikannya 2 tahun. Enam puluh persen dari program ini diperuntukkan bagi pelajar perempuan dan mengajarkan bidang-bidang seperti kesejahteraan keluarga, sastra, bahasa, kependidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Akademi atau special training academy adalah lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan bidang-bidang khusus, sepertiketerampilan yang diperlukan dalam pekerjaan atau kebidupan sehari-hari dengan lama pendidikan antara 1 sampai 3 tahun. Adapun sekolah kejuruan adalah program khusus untuk lulusan SMP dengan lama pendidikan 5 tahun dan bertujuan membina teknisi yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 179-180).
Dengan demikian, sistem pendidikan di Jepang dapat digambarkan dalam bagan berikut:

SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG

Usia

28 Pendidikan Tinggi Doctor’s
Degree (S-3)
27
26
25 Fakultas Kedokteran Gigi/ Kedokteran Hewan
24 Master’s
Degree (S-2)
23
22 Pendidikan Sarjana
(S-1) Junior College
(S-1)
21
20 Technical
college
19
18 Pendidikan
Menengah
Atas Sekolah Menengah Atas
(SMA)
17
16
15 Pendidikan
Wajib Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
14
13
12 Sekolah Dasar
(SD)
11
10
9
8
7
6
5 Pra Sekolah Taman Kanak-Kanak
(TK) dan Play Group (PG)
4


3

Sistem Pendidikan Indonesia
India dan Malaysia merupakan contoh bagi hadirnya pengaruh sistem pendidikan kolonial Inggris atas kelanjutan sistem pendidikanyang berlaku di kedua negara tersebut. beberapa praktek pendidikan yang dilaksanakan Inggris ternyata diteruskan, bisa jadi karena dianggap masih relevan, baik oleh India maupun Malaysia. Pengalaman yang sama bisa dipakai untuk menjelaskan akar sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Bedanya, meskipun pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia telah berlangsung selama tiga setengah abad, justru sistem pendidikan yang banyak digunakan adalah masa kependudukan jepang. Sebut saja sistem penjenjangan pendidikan di Indonesia pasca kemerdekaan. Ketika akhir pendudukan Jepang, pola sistem penjenjangan yang berlaku adalah 6-3-3-4, begitu Indonesia merdeka ternyata sistem penjenjangan ini diteruskan dengan menerapkan 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi SMP, 3 tahun bagi SMA, dan 4 tahun sampai 6 tahun bagi perguruan tinggi. Tentu saja dengan menyebut kolonial tersebut bukan menunjukkan totalitas karena terlalu banyaknya perbedaan yang dikembangkan oleh negara bersangkutan setelah merdeka. Pasca kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia mengalami serangkaian transformasi dari sistem persekolahannya (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 267-268). Hal ini bisa dilihat dengan adanya perubahan undang-undang tentang pendidikan, yaitu UU No.4 Tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia dan UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui undang-undang ini, maka pendidikan nasional telah mempunyai dasar legalitasnya. Namun demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan suatu hal yang baku. Suatu sistem merupakan suatu proses yang terus-menerus mencari dan menyempurnakan bentuknya (H.A.R. Tilaar, 1999: 1). Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia selama ini belum mampu menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja, bahkan lulusan yang dihasilkan juga masih disanksikan kualitasnya.
Gerakan reformasi tahun 1998, menuntut diadakannya reformasi bidang pendidikan. Forum Rektor yang lahir 7 November 1998 di Bandung, juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Tuntutan reformasi itu dipenuhi oleh DPR-RI bersama dengan pemerintah, dengan disahkan Undang-undang Sisitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tanggal 11 Juni 2003 (Anwar Arifin, 2003: 1).
Dalam Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan Prasekolah
Disebut prasekolah karena anak pada usia antara 3 tahun sampai 5 tahun yang dimaksudkan menjadi peserta pendidikan diarahkan untuk persiapan dan adaptasi bagi pendidikan berikutnya di SD. Metode dan materi pelajarannya berpola learning by doing, dengan memperbanyak permainan untuk meningkatkan daya kreativitas anak. Itu sebabnya disebut dengan Taman Kanak-kanak (TK). Umumnya TK ini terdiri dua tingkat, yaitu: TK Kecil usia 4 tahun dan TK Besar usia 5 tahun. Namun tidak semua orang tua mengikuti ketentuan tersebut secara ketat. Di antara mereka ada yang memasukkan anaknya langsung ke TK Besar selama setahun, lalu ke SD menjelang anak berusia 6 tahun. Bahkan dalam kasus tertentu seorang anak diterima masuk SD tanpa melewati pendidikan prasekolah ini.
Umumnya kegiatan belajar di TK sederhana, materi pelajarannya berkisar pada pengenalan warna, benda, huruf dan angka, selebihnya diberikan permainan dan keterampilan untuk kreativitas anak, seperti menggunting, melipat, atau mewarnai (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 268-269). Namun demikian, kurang lebih mulai tahun 1990-an di Indonesia juga mengembangkan Kelompok Bermain atau Play Group.
Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun yang terdiri atas program pendidikan 6 tahun yang diselenggarakan di SD dan 3 tahun di SMP. Kurikulum pendidikan dasar menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu, yang masing-masing disebut semester gasal dan semester genap. Kurikulum pendidikan dasar disusun untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar disusun untuk mencapai tujuan pendidikan dasar. Kurikulum pendidikan dasar merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SMP atau Madrasah Tsanawiyah (MTS).
Padanan dari SD adalah MI, sedangkan SMP adalah MTS. Bedanya, SD dan SMP berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sedangkan MI dan MTS di bawah Departemen Agama (Depag). Di samping itu, komposisi kurikulum agamanya lebih banyak di MI dan MTS dengan rasio 70% umum:30% agama, sedangkan di SD dan SMP hanya memberikan pelajaran agama dua jam pelajaran dalam satu pekan. Jam belajar di SD lebih panjang dari pada TK. Normalnya siswa masuk kelas pikil 07.00 dan pulang pada pukul 12.00. Meskipun demikian, sebagian SD, terutama yang bernaung di bawah ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU, menambah jam belajarnya, baik untuk kegiatan ekstra kurikuler maupun pelajaran yang menjadi ciri khas ormas Islam tersebut sehingga siswa bisa pulang sekolah pada pukul 13.30. Beberapa SD unggulan kadang kala memperpanjang jam belajarnya hingga sore hari atau biasa dikenal dengan full days school. Di sini siswa masuk mulai pukul 07.00 dan pulang pada pukul 16.00, sementara istirahat, sholat, makan siang dimasukkan dalam program pendidikan oleh lembaga tersebut.
Isi kurikulum pendidikan dasar memuat mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal. SD menggunakan sistem guru kelas, kecuali untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sedangkan SMP menggunakan sistem guru bidang studi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 269-270).
Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah meliputi SMA, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), atau yang sederajat dengannya. Tujuan pendidikan menengah adalah menungkatkan pengetahuan siswa dalam melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian serta meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya.
Program pelajaran di SMA dan kejuruan lebih luas dari pada pendidikan dasar. Program pengajaran umum mencakup bahan kajian dan pelajaran yang disusun dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, Ilmu Pengetahuan Alam (Fisiska, Biologi, dan Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi), dan Pendidikan Seni. Sejak kurikulum 1994, program pengajaran di jenjang pendidikan menengah ini diatur dalam program pengajaran khusus yang meliputi tiga jurusan, yakni program Bahasa, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Program Pengajaran Khusus ini diselenggarakan di kelas II dan dipilih oleh siswa sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Program ini dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa guna melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam bidang pendidikan akademik ataupun pendidikan profesional dan mempersiapkan siswa secara langsung atau tidak langsung untuk siap terjun ke lapangan kerja.
Kurikulum SMA dan yang sederajat menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu yang masing-masing disebut semester gasal dan semester genap, sedangkan sistem pengejarannya memakai sistem guru bidang studi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 272-273) .
Pendidikan Tinggi
Setelah seorang siswa yang telah menamatkan studi di SMA atau yang setaraf dengannya, apabila ia bermaksud untuk melanjutkan pendidikannya bisa memilih perguruan tinggi manapun yang ada di Indonesia. Berbeda dengan sekolah menengah, perguruan tinggi menerapkan sistem kredit semester (SKS). Di perguruan tinggi, seorang mahasiswa jika dapat menghabiskan jumlah kredit mata kuliah yang ditargetkan dan dapat menempuhnya dalam waktu tertentu sesuai dengan rencana yang diprogramkan, mahasiswa tersebut dapat menyelesaikan pendidikan tinggi Strata 1 (S 1) dalam waktu 4 tahun. Namun bila tidak sanggup karena banyak mengulang mata kuliah yang rendah nilainya atau karena cuti, waktu yang ditempuh untuk diwisuda sebagai seorang sarjana bisa lebih dari 4 tahun. Kalau ia berhasil wisuda dan berniat melanjutkan studi lanjut, masih ada dua tahap dalam pendidikan tinggi yang dapat ditempuhnya, yaitu jenjang S 2 atau Magister yang normalnya ditempuh selama 2 tahun dan jenjang S 3 atau Doktor yang efektifnya ditempuh selama 2 tahun, sedangkan sisanya untuk penelitian. Apabila seluruh tahap pendidikan tinggi ini ditempuh, diberi gelar Doktor untuk bidang yang dipilihnya. Jenjang ini mengakhiri karier akademik seseorang secara formal.
Seperti halnya di banyak negara lain, di Indonesia juga dikenal adanya perguruan tinggi negeri yang dikelola langsung oleh pemerintah dan perguruan tinggi swasta. Dalam realitasnya, pelajar Indonesia banyak yang mendaftar ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terlebih dahulu, baru menetapkan pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Kesan sekolah negeri dan PTN lebih unggul dan absah serta dianggap lebih mudah mendapat kerja masih melekat dan banyak diyakini oleh masyarakat. Padahal, setelah peraturan Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk perguruan tinggi diberlakukan dengan status terakreditasi dan nonterakreditasi, sebenarnya PTN dan PTS diperlakukan sama. Bahkan, bisa jadi PTS mendapat nilai lebih baik daripada PTN. Soal unggul dan jaminan kerja merupakan perkara yang relatif. Perguruan tinggi sekedar menyiapkan pesertanya untuk bermasyarakat, sedang keberhasilan itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Perguruan tinggi diharapkan berfungsi sebagai agent of change bagi pola kehidupan masyarakat modern. Sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian, pendidikan dilangsungkan dalam bentuk perkuliahan di ruang kelas, penelitian atau riset dilakukan terutama oleh mahasiswa semester akhir sebelum diwisuda (berupa penulisan skripsi, tesis, ataupun disertasi), sedangkan pengabdian dilakukan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN), atau kalau di universitas keguruan berupa Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 275-276).
Berpijak pada paparan di atas, sistem pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagaimana dalam bagan berikut:

SISTEM PERSEKOLAHAN DI INDONESIA
DALAM UU RI NO. 20 TAHUN 2003


Usia


24 Pendidikan
Tinggi Doktor
(S-3) Program
Doktor
(S-3) Spesialis II
(SP II)
23 Magister
(S-2) Program
Magister
(S-2) Spesialis I
(SP I)



22 Sarjana
(S-1) Program
Sarjana
(S-1) Diploma 4
(D-4)
21 Diploma 3
(D-3) Diploma 2
(D-2) Diploma 1
(D-1)
20
1 9
18 Pendidikan
Menengah Madrasah Aliyah (MA) Sekolah
Menengah
Atas Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK)
17
16

15 Pendidikan
Dasar Madrasah
Tsanawiyah
(MTs) Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
14
13
12 Madrasah
Ibtidaiyah
(MI) Sekolah Dasar
(SD)
11
10
9
8
7
6
5 Pra-
Sekolah Bustanul Athfal
(BA)
Raudlatul
Athfal
(RA)
4
3 Kelompok Bermain (KB) atau Play Group (PG)


Kelembagaan Pendidikan Islam
Secara historis Lembaga Pendidikan Islam (LPI) tertua yang ada di Indonesia adalah pesantren. Terlepas dari pengaruh Hindu-Budha atau Arab, pesantren merupakan produk interaksi dan akulturasi Islam dengan budaya lokal dalam konteks budaya asli. Pesantren saat itu masih dalam bentuk sederhana, salaf, dan non-klasikal. Lalu, dengan diperkenalkannya sekolah dalam bentuk klasikal oleh pemerintah Belanda, muncullah madrasah sebagai counter institution yang tidak hanya memuat pelajaran agama, tetapi juga pelajaran umum sebagaimana yang dikembangkan oleh berbagai Ormas Islam saat itu. Selama periode Belanda dan pendudukan Jepang, pendidikan Islam diorganisasikan oleh umat Islam sendiri melalui sekolah swasta dan pusat-pusat latihan. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut (pesantren, sekolah dan madrasah) eksistensinya tetap ada, bahkan terus dikembangkan sampai pasca kemerdekaan R.I. hingga sekarang. Adapun perguruan tinggi, baik PTU maupun PTAI, merupakan bentuk dan jenjang lanjutan dari ketiga Lembaga Pendidikan Islam tersebut.
Institusi pesantren, sekolah dan madrasah di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yang bisa dibedakan satu sama lain, terutama dalam hal porsi materi pelajaran agama serta afiliasinya dengan departemen terkait. Pesantren, misalnya memuat materi agama secara dominan, sedangkan sekolah umum memberikan alokasi waktu dua jam pelajaran agama dalam satu pekannya, sementara madrasah sebelum tahun 1975 meliputi materi agama 70% dan materi umum 30%, dan setelah SKB 3 Menteri tahun 1975, komposisinya dibalik menjadi 30% materi agama dan 70% materi umum. Meskipun demikian, khusus untuk madrasah ini, pada tahun 1986 diselenggarakan madrasah pilot project yang mengikuti komposisi materi agama 70% dan materi umum 30%, seperti yang berlaku sebelum tahun 1975. Keberadaan madrasah pilot project ini jumlahnya dibatasi pada beberapa daerah saja. Keberadaan Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN PK) merupakan contoh konkret implementasi dari kebijakan tersebut.
Adapun dalam hal afiliasinya terhadap lembaga pemerintah, pesantren merupakan bentuk LPI mandiri yang umum diselenggarakan oleh masyarakat. Karena itu, kurikulumnya bisa berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, sebab program pendidikannya disusun sendiri. Sementara sekolah, mulai jenjang SD, SMP, SMA hingga bentuk dan jenjang lanjutan di PT, saat ini berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Diknas). Adapun madrasah, baik MI, MTs, MA, maupun bentuk lain jenjang lanjutnya, yakni PTAI, dikelola oleh Departemen Agama. Karena itu kurikulum di sekolah dan madrasah bersifat sentral serta seragam secara nasional meskipun dalam beberapa aspek terjadi desentralisasi kebijakan.
Perkembangan kelembagaan PAI ditangani oleh Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Dirjenbimbagais) yang dibentuk pada tahun 1978. Di sini diadakan kategorisasi kebijakan kelembagaan PAI dalam beberapa jenis. Pertama, PAI yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai pendidikan jalur luar sekolah, misalnya pesantren. Kedua, PAI di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Ketiga, PAI di lingkungan sekolah umum (dari SD, SMP, sampai SMA) dan PAI di Perguruan Tinggi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 275-276).
Persamaan dan Perbedaan
Dari kajian sistem pendidikan di atas, penulis menemukan adanya beberapa persamaan dan perbedaan sistem pendidikan yang diterapkan pada dua negara tersebut. Adapun persamaannya:
Sistem penjenjangan persekolahan pendidikan di kedua negara tersebut sama-sama menggunakan pola 6-3-3-4, yaitu 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi SMP, 3 tahun bagi SMA, dan 4 tahun di perguruan tinggi.
Usia siswa yang belajar pada setiap jenjangnya ada yang sama, yaitu pendidikan dasar 9 tahun antara usia 6-15 tahun, sekolah menengah atas usia 16-18 tahun, dan pendidikan tinggi antara 19-25 tahun.
Kedua negara tersebut mewajibkan belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama di SMP, dengan demikian siswa diharapkan mempunyai kemampuan yang berwawasan internasional.
Sedangkan perbedaan yang menyolok pada sistem pendidikan di kedua negara ini sebagai berikut:
Dalam tujuan umum pendidikan Jepang mengutamakan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individual, dan menanamkan jiwa yang bebas. Sedangkan di Indonesia pendidikan bertujuan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jepang tidak memasukkan mata pelajaran pendidikan agama di semua jenjang persekolahan (memisahkan pendidikan agama dengan persekolahan), sedangkan di Indonesia pendidikan agama adalah mata pelajaran yang wajib untuk setiap jenjang persekolahan.
Dilihat dari kurikulum yang dikembangkan dapat dikemukakan beberapa hal:
Kurikulum TK di Jepang tidak membebani anak, karena anak tidak dijejali materi-materi pelajaran secara kognitif tetapi lebih pada pengenalan dan latihan ketrampilan hidup yang dibutuhkan anak untuk kehidupan sehari-hari, seperti latihan buang air besar sendiri, gosok gigi, makan, dan lain sebagainya. Sedangkan kurikulum di Indonesia telah berorientasi pada pengembangan intelektual anak.
Mata pelajaran level pendidikan dasar di Jepang tidak seberagam yang dikembangkan di Indonesia, jumlahnya tidak banyak, sehingga berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu, maka jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda.
Di Indonesia jarang ditemukan adanya mahasiswa peneliti, lebih-lebih mahasiswa pendengar, sehingga yang ada mahasiswa reguler. Hal itu terjadi barangkali karena orientasi belajar bagi mahasiswa Indonesia jauh berbeda dengan mahasiswa Jepang.
Pendidikan wajib di Jepang gratis bagi semua siswa, bahkan bagi anak yang kurang mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat maupun daerah untuk biaya makan siang, sekolah, piknik, kebutuhan belajar, perawatan kesehatan dan kebutuhan lainnya, sedangkan di Indonesia masih sebatas slogan (kecuali di daerah tertentu, seperti kebijakan di Sukoharjo, tetapi baru terbatas biaya sekolah saja).
Sistem administrasi pendidikan di Jepang sudah lama menerapkan kombinasi antara sentralisasi, desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan partisipasi masyarakat. Sedangkan di Indonesia baru dalam proses peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi dan juga diberlakukan MBS.
Di samping itu juga ada perbedaan kecil dalam hal mulai masuknya anak pada pendidikan prasekolah, terutama di TK. Kalau di Jepang dimulai usia 3 tahun, sedang di Indonesia dimulai pada usia 4 tahun.

Kesimpulan
Dengan mengkaji persamaan dan perbedaan tersebut, dapat dikemukakan beberapa hal berikut:
Kebijaksanaan pendidikan di Indonesia masih merupakan warisan kebijakan kolonial, sehingga belum sesuai dengan kebutuhan riil rakyat.
Kebijaksanaan pendidikan di Indonesia sudah berubah, hal ini terjadi karena:
Tidak bersandar pada filosofi yang kuat.
Sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor non utama, misalnya: politik, LSM, media massa, pengamat pendidikan, organisasi massa, tokoh perorangan dan perguruan tinggi.
Pendidikan di Indonesia belum menemukan karakter bangsa dan belum mampu mempengaruhi ekonomi, politik maupun sosial budaya.
Dengan mengacu pada tujuan pendidikannya, pendidikan di Jepang dapat membangun karakter bangsanya, yaitu kejujuran, kedisiplinan, ketaatan dan tanggung jawab, sedangkan di Indonesia masih sangat universal.
Kurikulum yang dikembangkan belum sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak, terutama di tingkat TK dan SD, dan over load SMP dan SMA.
Semangat belajar rakyat Indonesia yang masih lemah, sehingga kemauan belajar mereka banyak yang masih karena kebutuhan formalitas. Hal ini menjadikan sepinya mahasiswa peneliti menurut mahasiswa pendengar.
Berpijak pada temuan di atas, guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka menurut hemat penulis perlu dilakukan beberapa hal berikut:
Kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah seyogyanya bertumpu pada filosofi yang kuat.
Dalam rangka mempererat pendidikan, pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi semua peserta didik yang menempuh pendidikan dasar.
Meningkatkan anggaran di bidang pendidikan untuk penambahan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu.
Menyederhanakan kurikulum, dalam arti tidak over load pada masing-masing jenjang pendidikan, dan pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan psikologis anak.
Memantapkan sistem administrasi yang digunakan dalam mengelola lembaga-lembaga pendidikan.



Daftar Pustaka

Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media.

Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Indonesia Tera.

Barnadib, Imam. 1986. Dasar-Dasar Pendidikan Perbandingan, Yogyakarta: Institute Press IKIP Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Sinar Grafika.

http://murniramli.wordpress.com/2007/03/16/taman –kanak-kanak-di-jepang/

http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-01.html

http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-02.html


http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-03.html

http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id11-04.html

SISTEM PENDIIDKAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan oleh karena itu setiap warga negara Republik Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang merata dan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, etnis dan gender sehingga sebagai anggota masyarakat akan memiliki afeksi, kecerdasan dan keterampilan yang akan berguna untuk mengenal dan mengatasi masalah dirinya dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Untuk mencapai hat tersebut, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 yang mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu: 1) Mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai, 2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis, dan 3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera.
Untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil, dan sejahtera, bangsa Indonesia harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu mewujudkan pemerataan pendidikan yang bermutu sebagaimana amanat penting yang harus diemban oleh pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hat itu merupakan prasyarat untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di era global, yang ditandai oteh persaingan internasional yang makin ketat. Dengan demikian, perspektif pembangunan pendidikan masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
Upaya untuk membangun manusia seutuhnya sudah menjadi tekad pemerintah sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) I Tahun 1969-1974. Namun pembangunan pendidikan nasional selama ini belum mencapai hasit sesuai yang diharapkan. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) perlu memiliki strategi dan program untuk mewujudkan cita-cita yang luhur itu. Sebagai acuannya, Depdiknas menyusun Rencana Strategis.
Pembangunan Pendidikan Nasional (Renstra Depdiknas) Tahun 2005-2009 yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Renstra ini menjadi pedoman bagi semua tingkatan pengelola pendidikan, mulai dari pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan satuan pendidikan, untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan pendidikan nasional serta mengevaluasi hasilnya.
Renstra Depdiknas disusun dengan mengacu pada amanat Undang­Undang Dasar 1945, amandemen ke-4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Undang­Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.


B. Perspektif Pembangunan Pendidikan Jangka Menengah
Pembangunan pendidikan nasional tidak dapat lepas dari perkembangan lingkungan strategic, baik nasional maupun global. Pendidikan harus dibangun dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan, yang masing-masing memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, pembangunan pendidikan tidak cukup hanya berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka menyiapkan tenaga kerja. Dalam lima tahun ke depan, pembangunan pendidikan nasional harus dilihat dalam perspektif pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam perspektif demikian, pendidikan harus lebih berperan dalam membangun seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan mencakup olah hati yang berkualitas dengan keimanan, ketakwaan dengan akhlak mulia, olah rasa yang berkualitas dengan seni atau estetika, olah pikir yang berkualitas dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta potensi fisik yang berkualitas dengan olah raga.

1. Perspektif Makro Pembangunan Pendidikan Nasional
Pembangunan pendidikan nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern. Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeturuh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan. Dalam konteks demikian, pembangunan pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas: sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru ini terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan yang melahirkan tapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam masyarakat: ketuarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa tembaga negara. Dengan demikian, pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial.
Dalam perspektif budaya, pendidikan juga merupakan wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasi nilai, dan menanamkan etos di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa. Bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting lagi ketika arus globalisasi demikian kuat, yang membawa pengaruh nitai-nitai dan budaya yang acapkali bertentangan dengan nitai-nitai dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kotektif (collective conscience) sebagai warga bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusia­manusia yang andal untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategic untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antarbangsa di era global. Di era global sekarang ini, berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (KBE), yang mensyaratkan dukungan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Karena itu, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan - education for the knowledge economy (EKE). Dalam konteks ini, lembaga pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan (research and development), yang menghasilkan produk-produk riset unggulan yang mendukung KBE. Ketersediaan SDM bermutu yang menguasai iptek sangat menentukan kemampuan bangsa dalam memasuki kompetensi global dan ekonomi pasar bebas, yang menuntut daya saing tinggi. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat mengantarkan bangsa Indonesia meraih keunggulan dalam persaingan global.
Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas individu untuk menjadi warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki kesadaran akan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara. Karena itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun kekuatan bersama sebagai bangsa. Visi dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikan niscaya akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi elemen pokok dalam upaya membangun masyarakat madani. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha besar untuk meletakkan landasan sosial yang kokoh bagi terciptanya masyarakat demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat Was menengah terdidik yang menjadi pilar utama civil society, yang menjadi salah satu tiang penyangga bagi upaya perwujudan pembangunan masyarakat demokratis.
Dalam lima tahun mendatang, pembangunan pendidikan nasional dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup: (i) pemerataan dan perluasan akses, (ii) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing (iii) penataan governance, akuntabilitas, dan pencitraan diri, dan (iv) peningkatan pembiayaan. Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No. 22/1999, yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut menandai perubahan radikal tata kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional.
Dalam era otonomi dan desentralisasi, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan berbagai perubahan, penyesuaian, dan pembaharuan dalam rangka mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis, yang memberi perhatian pada keberagaman dan mendorong partisipasi masyarakat, tanpa kehilangan wawasan nasional. Dalam konteks ini, pemerintah bersama dengan DPR-RI telah menyusun UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai perwujudan tekad dalam melakukan reformasi pendidikan untuk menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di era persaingan global.
2. Pendidikan dan Komitmen Global
Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 disusun dalam rangka mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak­hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM yang menyatakan "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan" (Deklarasi HAM, Artikel 26). Hat ini sejalan degan pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka Aksi Dakar Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA). Dalam sasaran Konvensi Hak-Hak Anak dan PUS, Pemerintah telah metetapkan kebijakan dasardan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) tahun 2015, yaitu mewujudkan anak yang cerdas/ceria dan berakhlak mulia melalui upaya perluasan aksesibilitas, peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan, serta partisipasi masyarakat. Karena itu, kebijakan pendidikan perlu mengakomodasikan hak-hak anak dan kebutuhan anak termasuk juga mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dalam memenuhi komitmen internasional di bidang pendidikan, Pemerintah melakukan perbaikan indikator kinerja PUS, dengan menekankan pada peran masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Namun, upaya inovatif sangat diperlukan untuk mempercepat kemajuan, khususnya untuk menjamin penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin yang belum memperoleh kesempatan belajar, serta penuntasan buta aksara sebagai salah satu indikator penting dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.
Terkait dengan isu gender, ditetapkan pemihakan kebijakan dan disusun program-program pendidikan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Renstra menyusun strategi dalam mengurangi berbagai kendala yang menghambat partisipasi perempuan atau laki-laki untuk memperoleh kesempatan belajar pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dalam menjalankan misi pemerataan dan perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar, dibuka peluang yang sebesar-besarnya bagi laki-laki dan perempuan agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya dalam rangka mengembangkan seluruh potensi mereka secara optimal dan seimbang. Kebijakan menghapus berbagai kesenjangan gender pada berbagai tingkat pendidikan ini telah mulai diwujudkan melalui program Pengarus-utamaan Gender (PUG) sebagai salah satu komitmen Pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), di samping penuntasan wajib belajar 9 tahun yang bermutu dan bebas dari biaya.
Selain terkait dengan gender, kebijakan pendidikan nasional perlu juga dikaitkan dengan pemihakan terhadap warga negara miskin yang mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan, terutama bagi warga negara miskin yang berpotensi dan berkecerdasan istimewa pertu memperoleh beasiswa dan fasilitas lainnya, tanpa mengalami hambatan ekonomi secara berarti. Demikian pula, bagi warga negara yang memiliki kelainan khusus dan hambatan fisik dapat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Diberlakukannya sistem perdagangan dunia akan memberikan petuang dan tantangan datam meningkatkan mutu pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Indonesia berkomitmen pada terbukanya perdagangan dunia (WTO), termasuk dalam perdagangan jasa atau General Agreement on Trade in Services (GATS) dan bidang pendidikan merupakan satah satu sektor yang terkait dalam GATS dimaksud.
Untuk mengantisipasi hat tersebut di atas, Renstra Depdiknas menekankan strategi pertuasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi penduduk usia muda yang masuk datam kelompok pencari kerja, pekerja upah rendah serta penduduk kurang produktif yang jumlahnya masih cukup besar. Dalam perspektif pendidikan, masatah-masalah tersebut terjadi sebagai akibat dari tingginya angka putus sekolah, terbatasnya akses ke pendidikan dan pelatihan bagi tutusan terutama dari kalangan masyarakat miskin, serta kurang efektifnya pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kecakapan hidup (life skills).
C. Visi, Misi dan Tujuan Departemen Pendidikan Nasional
1. Visi
Pembangunan Indonesia di masa depan bersandar pada visi Indonesia jangka panjang, yaitu terwujudnya negara-bangsa (nation-state) Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasita dan UUD 1945. Datam kerangka visi jangka panjang yang termuat dalam dokumen: "Membangun Indonesia yang Aman, AN, dan Sejahtera" (Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, 2004), pembangunan Indonesia pada tahun 2005-2009 mengarah pada: a) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai; b) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; dan c) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan berketanjutan, yang dilandasi keimanan, kecakwaan, dan akhlak mulia.
Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling elementer, yaitu: (i) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; (ii) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; dan (iii) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis dan kecakapan praktis.
Paradigma pembangunan pendidikan nasional menempatkan peserta didik pada kedudukan yang sangat sentral. Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogianya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.
Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hat ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang di dalam Pasal 28B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri metalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, Depdiknas sebagai penanggungjawab pendidikan nasional mempunyai visi sebagai berikut.


Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif
Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat maju. Masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang bertumpu pada pertanian menuju masyarakat berbasis industri. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Di dalam masyarakat berpengetahuan, peranan ilmu pengetahuan dan penggunaan ICT sangat dominan. Namun, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berciri agraris belum sepenuhnya mampu memanfaatkan iptek yang mengalami perkembangan pesat dan menjadi penggerak utama (prime mover) perubahan masyarakat.
Untuk itu, pendidikan harus terus-menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar secara terus-menerus agar beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia, mampu menggali ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, memiliki etika dan kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam merespons perubahan dan perkembangan masyarakat dalam perspektif persaingan global, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Pendidikan bukan hanya mengantarkan bangsa menuju masyarakat maju yang sarat dengan pendayagunaan iptek, etika dan kepribadian, serta estetika untuk mencapai keunggulan bangsa di era global, tetapi juga menciptakan kemandirian baik bagi individu maupun bangsa. Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting justru ketika dunia dihadapkan pada satu sistem tunggal yang digerakkan oleh pasar bebas. Sulit bagi bangsa Indonesia untuk bertahan bila tidak memiliki kemandirian karena hidupnya semakin tergantung pada bangsa-bangsa yang lebih kuat. Selain itu, pendidikan harus mengawal perubahan bangsa menuju masyarakat madani yakni masyarakat yang taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan perundang­undangan.
2. Misi
Untuk mewujudkan visi pendidikan transformatif tersebut Depdiknas telah menetapkan beberapa misi sebagai berikut.

Mewujudkan Pendidikan Yang Mampu Membangun Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif dengan Adil, Bermutu, dan Relevan untuk Kebutuhan
Masyarakat Global


Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas menetapkan beberapa strategi dan program dalam suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih ditekankan pada upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan yang didukung oleh sistem governance yang sehat, efisien, dan akuntabel.

3. Nilai-nilai
Dalam pelaksanaan proses pembangunan pendidikan yang sesuai visi dan misi yang telah ditetapkan, Depdiknas menetapkan tata nilai yang dianut sebagai berikut.
Nilai-nilai masukan (input values), yakni Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam diri setiap pegawai Depdiknas, dalam rangka mencapai keunggulan, yang meliputi:
· Amanah / Trustworthiness
· Profesional dan Percaya Diri
· Antusias dan Bermotivasi Tinggi
· Bertanggung Jawab
· Kreatif
· Disiplin
· Peduli
Nilai-nilai proses (process values), yakni nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam bekerja di Depdiknas, dalam rangka mencapai dan mempertahankan kondisi yang diinginkan, yang meliputi:
· Visioner dan Berwawasan
· Menjadi Teladan Memotivasi (Motivating)
· Mengilhami (Inspiring)
· Memberdayakan (Empowering)
· Membudayakan (Culture-forming)
· Taat azas
· Koordinatif dan Bersinergi dalam Kerangka Kerja Tim
· Akuntabel
Nilai-nilai keluaran (output values), yakni nilai-nilai yang diperhatikan oleh para stakeholders (Pemerintah, DPR, Pegawai, Donatur, Dunia Pendidikan, Masyarakat lainnya), yang meliputi:
· Produktif
· (Efektif dan Efisien)
· Gandrung Mutu Tinggi/Service Execellence
· Dapat Dipercaya (Andal)
· Responsif dan Aspiratif
· Antisipatif dan Inovatif
· Demokratis, Berkeadilan, dan Inklusif
· Pembelajar Sepanjang Hayat

4. Tujuan
Mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta visi dan misi tersebut di atas, maka ditetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah sebagai berikut.
a. Meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia, serta kualitas jasmani peserta didik;
b. Meningkatkan etika dan estetika, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia;
c. Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual;
d. Menuntaskan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun secara efisien, bermutu dan relevan sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan kualitas manusia Indonesia dalam pendidikan lebih lanjut;
e. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara dan memiliki berbagai kecakapan hidup;
f. Memperluas akses pendidikan non-formal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup;
g. Meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang mandiri, bermutu, terampil, ahli dan profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan;
h. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan tersedianya standar pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal (SPM), serta meningkatkan kualifikasi minimun dan sertifikasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya;
i. Meningkatnyn relevansi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui peningkatan hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh perguruan tinggi serta penyebarluasan dan penerapannya pada masyarakat;
j. Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien, produktif, dan demokratis dalam suatu governance yang baik dan akuntabel;
k. Meningkatnya efektifitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan melalui peningkatan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan;
l. Mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mewujudkan Depdiknas yang bersih dan berwibawa;
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerangka kebijakan pembangunan pendidikan, baik yang bersifat umum dan strategic, sehingga pada gilirannya akan dapat dituangkan program , strategi pelaksanaan, jenis kegiatan, target-target yang realistis dalam jangka lima tahun.
D. Penyusunan Renstra dan Proses Konsultasi
RPJM yang merupakan dokumen perencanaan nasional untuk periode lima tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden hasil pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004. RPJM menjadi pedoman baik bagi kementerian negara dalam menyusun Renstra oleh Kementerian/Lembaga, maupun penyusunan RPJM daerah oleh Pemerintah Daerah. Depdiknas menyusun Renstra Tahun 2005-2009, secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan untuk mendorong partisipasi secara luas dan menciptakan rasa memiliki serta menumbuhkan rasa tanggungjawab bersama dalam melaksanakan program pembangunan pendidikan jangka menengah.
Renstra Depdiknas disusun berdasarkan langkah-langkah sistematis dalam proses perencanaan sektoral (sectoral planning) bidang pendidikan yang didasarkan pada isu-isu kebijakan dalam pembangunan pendidikan nasional, yang merupakan jawaban terhadap kesenjangan yang ditimbulkan oleh keadaan yang diinginkan di masa depan (expected condition) dari keadaan empiris yang terjadi di masa sekarang (existing condition). Jawaban tersebut mencakup kebijakan strategis, program-program, strategi pelaksanaan program, dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang relevan.
Penyusunan Renstra Depdiknas memperhitungkan berbagai kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, serta perkembangan iptek. Di samping memanfaatkan momentum stabilitas politik dan ekonomi makro saat ini, Renstra juga merumuskan beberapa strategi pembiayaan pendidikan jangka menengah secara bertahap dan berkesinambungan berdasarkan beberapa tema kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh Mendiknas, yaitu perluasan dan pemerataan, peningkatan mutu dan relevansi, serta perwujudan governance yang sehat dan akuntabel.
Penyusunan Renstra memperhatikan beberapa masukan dari temuan dalam Telaahan Sektor Pendidikan (Education Sector Review, 2004) terutama mengenai penetapan kebijakan strategis pada seluruh tema kebijakan dimaksud. Renstra Depdiknas merancang strategi dan program pembangunan berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas dan Peraturan-Peraturan Pemerintah yang memuat sejumlah pokok-pokok pembaharuan mendasar dalam sistem pendidikan nasional ke depan. Selain dari pada itu penyusunan Renstra Depdiknas memperhatikan tugas pokok dan fungsi setiap tingkat pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pemerintahan, Renstra merupakan pedoman penyusunan rencana strategis dan operasional bagi Gubernur, Bupati/Walikota termasuk Kepala Dinas Pendidikan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan operasional daerah secara efektif berdasarkan urusan wajib, urusan pilihan, dan sumberdaya pendukung yang tersedia. Implikasinya, pengelolaan pelayanan pendidikan perlu memperkuat mekanisme partisipasi dan akuntabilitas publik di setiap tingkatan manajemen pendidikan.
Renstra Depdiknas 2005-2009 yang konsisten dengan prinsip desentralisasi dan otonomi akan menciptakan rasa kepemilikan (ownership) dan pemahaman yang optimal atas peran masing-masing stakeholder dalam pelayanan pendidikan yang efektif bagi masyarakat. Depdiknas perlu memperjelas dan memperkuat fungsi-fungsi barunya dalam pelayanan pendidikan, seperti dalam penetapan kebijakan nasonal, standardisasi nasional pendidikan, pengendalian dan penjaminan mutu berdasarkan penilaian kinerja, serta harmonisasi dan koordinasi sesuai dengan delegasi fungsi, urusan, dan tanggungjawab dari masing-masing tingkat pemerintahan, satuan pendidikan, dan masyarakat.
Proses penyelarasan Renstra yang telah disusun oleh Depdiknas telah mencakup kegiatan-kegiatan pokok, antara lain: (a) pembentukan kelompok kerja Renstra oleh Mendiknas pada butan Februari 2005, (b) analisis komprehensif dan pembahasan oleh para pengambil keputusan di Depdiknas termasuk hasil temuan penelitian operasional, (c) konsultasi regional yang melibatkan unsur pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan mitra-mitra pembangunan pendidikan, (d) diskusi yang intensif dengan instansi terkait seperti Departemen Agama, Departemen Datam Negeri, Departemen Keuangan, BAPPENAS, dan DPR.
E. Sistematika Renstra Depdiknas 2005-2009
Sistematika Renstra Depdiknas 2005-2009 terdiri dari enam bab, sebagai berikut.
Pertama, Bab I memuat latar betakang pemikiran, asumsi, aturan perundangan yang berlaku sebagai dasar untuk penyusunan Renstra Depdiknas 2005-2009 sesuai dengan tema-tema kebijakan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dilakukan telaahan terhadap isu-isu kebijakan pendidikan, kerangka makro pembangunan serta komitmen internasional pemerintah sebagai dasar untuk merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan strategic, program dan strategi pelaksanaan, kegiatan, pembiayaan, serta sistem monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan pendidikan nasional jangka menengah.
Kedua, Bab II memuat analisis situasi pendidikan nasional dalam kaitannya dengan perkembangan lingkungan strategic yang memiliki keterkaitan fungsionat dengan sistem pendidikan nasional. Lingkungan srategis tersebut mencakup lingkungan ekonomi, politik, teknologi, dan social-budaya baik yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan seluruh komponen dalam proses pembangunan pendidikan. Telaahan terhadap lingkungan strategic ini dilakukan pada masing-masing tema kebijakan, yaitu pertuasan dan pemerataan akses, mutu dan relevansi pendidikan, serta governance dan akuntabilitas.
Ketiga, Bab III adalah kerangka kebijakan pembangunan pendidikan jangka menengah, baik bersifat umum maupun strategis, yang memuat pemikiran tentang pola-pola perubahan yang diinginkan serta sasaran yang realistis dalam pembangunan pendidikan nasional selama lima tahun ke depan. Dalam masing-masing tema kebijakan disusun dan diidentifikasi kebijakan­kebijakan yang relevan dengan tujuan untuk mencapai masing-masing sasaran yang dimaksud.
Keempat, Bab IV menuangkan program pembangunan pendidikan yang disusun sesuai dengan kerangka kebijakan jangka menengah (RPJM) ke dalam dimensi ruang dan waktu, yaitu program, strategi pelaksanaan, jenis-jenis kegiatan, dan target-target yang realistis dalam lima tahun. Dalam Bab ini pembahasan dilakukan pada masing-masing program dan unit organisasi yang bertanggungjawab dalam menanganinya.
Kelima, berdasarkan jenis-jenis kegiatan dan sasaran masing-masing program, Bab V memuat strategi pembiayaan sektor sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, termasuk alokasi pendanaan berdasarkan prioritas kebijakan masing-masing, berdasarkan kategori: unit organisasi, fungsi dan sub­fungsi, program, kegiatan dan sasaran pembangunan.
Keenam, Bab VI memuat strategi dan mekanisme yang akan digunakan dalam monitoring dan evaluasi kinerja serta keberhasilan pembangunan bidang pendidikan jangka menengah. Monitoring dan evaluasi kinerja tersebut mengacu pada indikator kinerja sektor sebagai agregat dari pengukuran yang dilakukan pada tingkatan program.
F. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Pendidikan dibagi dalam 4 (empat) periode pembangunan:
1. Periode 2005-2010 menitikberatkan pada peningkatan kapasitas dan modernisasi
2. Periode 2010-2015 menitikberatkan pada penguatan pelayanan
3. Periode 2015-2020 menitikberatkan pada daya saing regional
4. Periode 2020-2025 menitikberatkan pada daya saing internasional









BAB II
ANALISIS SITUASI

Pokok-pokok kebijakan strategis, program, sasaran, serta strategi pelaksanaan pembangunan pendidikan yang dirancang dalam Renstra 2005-2009 disusun dengan mempertimbangkan keadaan dan tantangan dalam lingkungan strategis agar sasaran lima tahun ke depan lebih realistic dan konsisten dengan prinsip-prinsip pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabet, dan demokratis. Analisis lingkungan strategic yang dikaji dalam bab ini dapat ditihat baik dari tantangan internal maupun eksternal. Analisis situasi menelaah keberhasilan dan masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam tema-tema pokok kebijakan pendidikan, yaitu pemerataan dan pertuasan akses, mutu dan relevansi, serta governance dan akuntabilitas.

A. Pemerataan dan Pertuasan Akses
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan peringkat Indonesia yang mengalami penurunan sejak 1995, yaitu peringkat ke-104 pada tahun 1995, ke-109 pada tahun 2000, ke-110 pada tahun 2002, ke 112 pada tahun 2003, dan sedikit membaik pada peringkat ke-111 pada tahun 2004 dan peringkat ke-110 pada tahun 2005. Penurunan indeks ini lebih banyak disebabkan oleh indikator penurunan kinerja perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997.
Sampai dengan tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,2 tahun. Sementara itu, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sekitar 90,45%. (Susenas, BPS 2004). Oleh karena itu, kebijakan pendidikan dalam peningkatan angka melek aksara, serta akselerasi pertuasan dan pemerataan akses pendidikan yang bermutu perlu lebih diintensifkan agar dapat meningkatkan kembali IPM Indonesia paling tidak ke posisi sebelum krisis. Kondisi tersebut belum memadai untuk hidup mandiri maupun menghadapi persaingan global, serta belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy).
Mutu pendidikan secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan (the quality of intakes) yaitu kesiapan mental dan emosional anak untuk memasuki sekolah dasar. Namun, sampai saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui pendidikan anak usia dini (PAUD) masih terbatas dan tidak merata. Dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau sekitar 32,36 %) yang memperoleh layanan pendidikan di TK. Di antara anak-anak yang memperoleh kesempatan PAUD tersebut, pada umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan. Hat ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan PAUD secara proporsional.
Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun dan usia 13-15 tahun sudah mencapai 96,8% dan 83,5%. Hat tersebut menunjukkan masih terdapat sekitar 3,2% anak usia 7-12 tahun dan sekitar 16,5% anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah, baik karena belum pernah sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (BPS, 2004). Data BPS tahun sebelumnya, menjelaskan bahwa sebagian besar (76%) keluarga menyatakan penyebab utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah adalah karena alasan ekonomi, yang bervariasi dari tidak memiliki biaya sekolah (67,0%) serta harus bekerja dan mencari nafkah (8,7%).
Tuntutan atas perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar, sebagai dampak Program Wajar Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, mengakibatkan semakin bertambahnya partisipasi pada pendidikan menengah. Sampai dengan tahun 2004, APS penduduk usia 16-18 tahun sudah mencapai 53,5%. Meningkatnya partisipasi pendidikan menengah tersebut juga akan menimbulkan tekanan baik pada penyediaan kesempatan belajar di pendidikan tinggi maupun pada upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah agar para lulusannya dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Pada pendidikan tinggi (PT), partisipasi jumlah penduduk usia 19-24 tahun yang memperoleh kesempatan belajar di PT masih relatif kecil. Pada tahun 2004, APK perguruan tinggi mencapai 14,6%.
Perluasan dan pemerataan pendidikan juga memberi tuntutan pada peningkatan pemerataan memperoleh pendidikan bagi siswa lulusan SD/MI yang karena kendala tertentu tidak dapat mengikuti pendidikan SMP/MTs reguler disediakan pendidikan alternatif antara lain melalui SMP Terbuka, yang pada tahun 2004/2005 jumlah siswanya mencapai 330.000 anak tersebar di 2.870 SMP Terbuka. Di samping itu, peningkatan pemerataan dan perluasan pendidikan dapat ditempuh dengan memberikan pelayanan pendidikan yang memadai pada anak-anak berkebutuhan khusus, yang berdasarkan data BPS jumlahnya sekitar 1,5 juta orang lebih tetapi yang mendapat pelayanan pendidikan baru sekitar 60.000 anak atau sekitar 4 %.
Di samping itu, untuk mengatasi persoalan keterbatasan sosial, ekonomi, waktu, kesempatan, dan geografi, serta tidak dapat bersekolah pada usia sekolah, disediakan Program Pendidikan Kesetaraan, melalui Paket A dan B, yang jumlah pesertanya terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah peserta Program Paket A dan B sekitar 50.000 orang dan 190.000 orang meningkat pada tahun 2004 menjadi sekitar 76.000 orang dan 351.000 orang untuk Program Paket A dan B. Program Pendidikan Kesetaraan ini dapat dilaksanakan di berbagai tempat yang sudah ada, baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), rumah ibadah, pusat-pusat majlis taklim, balai desa, kantor organisasi­organisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat-tempat lain yang layak.

95 94 93 92 91 90 a 89 88 87 86 85

1995 1998 2002 2003 2004
-0--QUntilel ~ Qtbntile2 - -Quntile3
Quntile4 - -X- •QUntile5 ' Rata-rata
Grafik 2.1. Perkembangan APM SD/Ml Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga


1995 1998 2002 2003
2004
Dilihat dari partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, data menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, dan antarwilayah. Kesenjangan kelompok penduduk kaya dan miskin pada jenjang SD/MI relatif kecil bila dibanding dengan jenjang SMP/MTs dan SM/MA. APS penduduk usia 7-12 tahun dari kelompok perlimaan terkaya sekitar 98,7% dan APS kelompok termiskin sudah mencapai 94,0%. Sementara itu, APS penduduk 13-15 tahun dari kelompok perlimaan terkaya sudah mencapai 94,6%, sedangkan APS kelompok perlimaan termiskin mencapai 70.9%. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun dengan kesenjangan APS antara kelompok perlimaan terkaya dan termiskin yang sangat lebar, yaitu antara 76,1% dan 32,7%.
-t-Quntilel ~ Quntile2 -A ---Quntile3
Quntile4 - -x- •QUntile5 o Ratarala
Grafik 2.2. Perkembangan APM SMP/MTs Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga





Bila dilihat dari angka partisipasi murni (APM), pada jenjang SD/MI kesenjangan pendidikan antara kelompok penduduk perlimaan terkaya dan termiskin makin menunjukkan perbedaan yang relative kecil (grafik 2.1). pada tahun 2004, APM SD/MI pada kelompok perlimaan terkaya sekitar 92,2% sementara pada kelompok perlimaan termiskin sekitar 92,0%
Grafik 2.3. Perkembangan APM SM/MA Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga
Pada grafik 2.2 menunjukkan bahwa ada kecenderungan meningkatnya APM SMP/MTs pada kelompok perlimaan termiskin hingga tahun 2002, namun kemudian mulai menunjukkan penurunan APM sehingga menjadi sekitar 47,2% dan kemudian meningkat lagi menjadi 50% pada tahun 2004. Hat ini berbeda dibanding dengan APM kelompok perlimaan terkaya yang makin menunjukkan kecenderungan terus meningkat, hingga pada tahun 2004 APM pada kelompok ini sekitar 76,6%, yang mengakibatkan kesenjangan akses SMP/ MTs semakin melebar.

Perbedaan akses pendidikan pada jenjang SM/MA tahun pada kelompok perlimaan terkaya dan termiskin nampak semakin tinggi sejak tahun 2003 (Grafik 2.3). Pada tahun tersebut, APM SM/MA kelompok terkaya yaitu 64,3%, sementara untuk kelompok perlimaan termiskin adalah 18,2%. Hat ini berbeda pada tahun sebelumnya, dimana persentase untuk kelompok termiskin sudah mencapai 23,1%. Oleh karenanya, pertuasan akses terhadap pendidikan menengah bagi kelompok masyarakat miskin, tidak hanya penting untuk mewujudkan akses yang lebih merata, tetapi juga berdampak pada perluasan akses secara agregat.


1995 1998 2002 2003 2004
-s Quintile 1 • Quintile2-f-Quintile 3
--0 -Quintile4 - )K- -Quintile5 • Rata-rata
Pada grafik 2.4 di bawah ini, perbedaan partisipasi pendidikan antara kelompok pengeluaran keluarga pada semua jenjang pendidikan menjadi terlihat. Pada jenjang pendidikan SD/MI, nampak bahwa kesenjangan pendidikan antara kelompok perlimaan termiskin dan terkaya dalam angka partisipasi kasar (APK) relatif kecil. Pada kelas awal SD/MI (kelas 1-3) nampak perbedaan tersebut tidak ada, namun pada kelas akhir perbedaan partisipasi pendidikan makin nampak meskipun tidak terlalu besar. Bila kita amati jenjang SMP/MTs dan SM/MA, perbedaan partisipasi pendidikan terlihat makin melebar.


100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
0



1 2 3 4 5 gel as7 8 9 10 11 12
Grafik 2.4. Analisa Kohort Murid SD sampai SM Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga


Dilihat dari APS, APK, dan APM pada tahun 2004 dapat dikemukakan bahwa secara nasionat relatif tidak ada kesenjangan gender yang signifikan pada tingkat SD/MI. Kesenjangan pendidikan justru terjadi antara daerah perkotaan dengan perdesaan, meski perbedaannya juga tidak terlatu besar. Hat ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun tersebut, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses pendidikan pada tingkat SD/MI sudah jauh berkurang dibandingkan dengan keadaan 20 tahun yang latu pada waktu Program Wajib Belajar SD belum dimulai. Keberhasilan wajar tersebut dimungkinkan karena ketersediaan fasilitas pendidikan yang tersebar relatif merata di seluruh pelosok tanah air.
Pada jenjang SMP/MTs, secara nasional kesenjangan gender dalam pendidikan justru terjadi terhadap laki-laki sekitar 2-3%. Hasil program wajib belajar telah memberi dampak pada meningkatnya partisipasi perempuan pada jenjang SLTP/MTs sebagai akibat dari perluasan pendidikan terutama di daerah perdesaan. Gejala kesenjangan gender terhadap laki-laki pada daerah perdesaan ini lebih karena faktor pragmatis, yaitu ekonomi keluarga di perdesaan agar anak laki-taki segera dapat bekerja untuk membantu memperoleh pendapatan keluarga, sementara anak perempuan dapat memperoleh kesempatan pendidikan lebih besar dibanding dengan lawan jenisnya.
Secara nasional tidak terjadi kesenjangan gender yang signifikan pada jenjang pendidikan menengah (SM/MA) terutama juga di wilayah perdesaan, namun kesenjangan gender terhadap perempuan justru terjadi di wilayah perkotaan yaitu sekitar 2-3%. Kesenjangan gender terhadap perempuan yang terjadi di wilayah perkotaan cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh nilai­nilai sosial-budaya yang tumbuh dan berkembang serta dianut oleh keluarga dan masyarakat. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa laki-laki adalah penopang ekonomi keluarga dan oleh karena itu lebih penting untuk memberikan pendidikan yang setinggi-tingginya kepada anak laki-laki ketimbang kepada perempuan yang dianggap lebih berperan di tingkungan keluarga sebagai fungsi domestik. Pada umumnya keluarga lebih memilih anak laki-laki untuk menempati prioritas untuk bersekolah dari pada anak perempuan.
Pada jenjang Perguruan Tinggi (PT), secara nasional meski terjadi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan namun tidak terlalu besar yaitu sekitar 1-2%. Hat ini juga terjadi pada daerah perdesaan, dimana kesenjangan gender pada tingkat ini relatif kecil. Justru, kesenjangan gender terhadap perempuan terjadi di daerah perkotaan yaitu sekitar 2%. Seperti halnya dalam gejala kesenjangan gender pada tingkat SM/MA di daerah perkotaan, gejala kesenjangan gender di tingkat PT juga dipengaruhi faktor sosial-.budaya dimana masyarakat beranggapan bahwa laki-laki dianggap lebih penting memperoteh pendidikan yang tinggi dibanding perempuan. Faktor nilai sosial-budaya tersebut juga berkaitan dengan faktor ekonomi, yang menyangkut ketersediaan biaya pendidikan yang terbatas dan membutuhkan pilihan dalam penyediaan kesempatan pendidikan bagi taki-taki dan perempuan.
Di samping kesenjangan pendidikan dalam kaitan dengan gender di atas, sebenarnya kesenjangan pendidikan pada jenjang SLTP hingga PT terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan, yaitu sekitar 15-20% (Susenas, BPS, 2004). Perbedaan akses terhadap pendidikan tersebut disebabkan antara lain oleh faktor biaya, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, masyarakat daerah perdesaan juga menghadapi masalah jarak tempuh antara rumah-sekotah akibat dari ketersediaan sarana-prasarana pendidikan yang tidak merata. Di samping itu, pemahaman orangtua untuk mendorong anak-anak mereka bersekolah juga masih dirasakan minim terutama di daerah perdesaan.
Tabel 2.1. Kontribusi sumber kesenjangan akses pendidikan antar dan intra provinsi


Kesenjangan akses terhadap pendidikan juga dapat dilihat menurut wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Tabel 2.1 menunjukkan bahwa kesenjangan dalam provinsi yang menunjukkan perbedaan antara kebupaten/kota lebih tinggi dibandingkan dengan kesenjangan antar provinsi, baik untuk APK maupun APM.


Sumber SD/ SMP/ SM/
Kesenjangan MI MTs MA
Antar
Provinsi 30,5 29,2 27,5
APK
Dalam
Provinsi 69,5 70,8 72,5
Antar
Provinsi 39,2 35,8 29,9
APM
Dalam
Provinsi 60,8 64,2 70,1



Kesenjangan APK antar-provinsi terjadi sekitar 27,5 dibandingkan dengan kesenjangan antar-kebupaten/ kota sekitar 72,5 untuk jenjang SM/MA. Demikian juga dengan APM dengan perbedaan sekitar 29,9 untuk antar provinsi dan sekitar 70,1 untuk antar-kebupaten/ kota. Hat ini menunjukkan bahwa fungsi koordinasi di tingkat provinsi, terutama fungsi provinsi dalam memperkecil kesenjangan antar-kabupaten/kota belum berjalan dengan optimal. Data Susenas 2003 menunjukkan APK untuk jenjang SMP/MTs berkisar antara 56,8% untuk Provinsi NTT dan 100,6% untuk Provinsi DI Yogyakarta. Pada saat yang sama APK jenjang SMA/SMK/MA berkisar antara 77,5% untuk Provinsi DKI Jakarta dan 33,6% untuk Provinsi Gorontalo.

-*-Perempuan >-Laki-laki
Perempuan+laki2
99.00
­98.50
­98.00
­97.50 97.00
96.50
­96.00
1995 1998 2002 2003 2004 Tahun
Graft 2.5
Tingkat Keaksaraan Penduduk Usia 15-24
Kesenjangan akses terhadap pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4%, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,0% dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di pendeaaan 87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara terbesar adalah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%, yang menunjukkan keberhasilan dari Program wajib belajar 9 tahun (Grafik 2.5). Sementara angka buta aksara pada kelompok usia tersebut masih ada sekitar 1,3% yang buta aksara (Susenas, BPS 2004).
Masih adanya buta aksara tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) masih terjadinya anak putus sekolah, khususnya pada kelas-kelas rendah di SD, yaitu sekitar 250 ribu anak (tahun 2003) yang sebagian besar akan menjadi buta aksara, (2) sebagian dari aksarawan baru akan kembad menjadi buta aksara (relapse illiteracy) karena kemampuan literasi yang telah dimiliki tidak digunakan lagi; dan (3) menurunnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap upaya pemberantasan buta aksara. Keadaan ini membutuhkan perubahan strategi dalam pemberantasan buta aksara dengan menggunakan pendekatan yang lebih inovatif dalam program keaksaraan untuk memberantas buta aksara secara efektif dan massal. Di samping putus sekolah, masih terdapat pula sejumlah besar anak-anak usia sekolah yang tidak dapat bersekolah sama sekali karena persoalan ekonomi sehingga jika tidak ditangani segera akan menambah jumlah buta aksara secara signifikan.

B. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Permasalahan dalam kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dalam satu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran (output) dipengaruhi oleh mutu input dan mutu proses. Pembahasan dalam Bab ini didasarkan pada komponen input, proses, dan output.
Input pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam kesempatan meraih pendidikan. Namun, kenyataannya hat ini tidak terpenuhi karena sebagian siswa menderita kekurangan gizi, cacingan, maupun karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung. Data Susenas tahun 2003 mengungkapkan bahwa dari sekitar 18 juta anak usia balita, sekitar 28% atau lima juta anak berstatus kekurangan gizi. Dari jumlah balita yang kurang gizi itu lebih dari 30% menimpa mereka yang berusia di bawah dua tahun. Pada usia tersebut diketahui bahwa 50% proses pembentukan otak anak berlangsung. Hat ini akan berdampak pada kapasitas intelektual pada anak.
Secara eksternal, komponen input pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi: (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraan pendidik yang belum memadai, (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal, dan (3) biaya pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, serta (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif.
Salah satu faktor yang terpenting dalam mempengaruhi kualitas pendidikan adalah ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan. Sampai dengan tahun 2002/2003 terdapat sekitar 2,7 juta guru dari jenjang pendidikan pra-sekolah hingga menengah, baik pada sekolah negeri maupun swasta. Namun jumlah tersebut belum memadai, karena itu masih diperlukan sekitar 400 ribu orang.
Walaupun ada usaha untuk pengadaan pendidik khususnya guru oleh pemerintah, tetapi upaya tersebut belum dapat memenuhi kekurangan guru di setiap jenjang pendidikan sebagai akibat banyaknya guru yang sudah mencapai usia pensiun, berhenti, mutasi, dan meninggal dunia, serta untuk mengajar di kelas-kelas atau sekolah-sekolah baru yang rata-ratanya menampung 400 ribu murid baru, terutama di SMP. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan guru, maka mulai tahun 2003 telah dilakukan pengadaan guru bantu yang mencapai jumlah 190.332 orang dan pads tahun 2004 juga dilakukan pengadaan guru bantu sekitar 71.309 orang.
Dari jumlah pengadaan guru bantu tersebut ditambah dengan PNS baru non-guru bantu yang berjumlah sekitar 38.533, maka total penambahan guru selama tahun 2003 dan 2004 berjumlah sekitar 300.174 orang. Bila hat ini dipenuhi untuk mengatasi kekurangan guru tahun 2002/2003 yang berjumlah 427.903 orang, ditambah dengan guru yang pensiun pada tahun 2003 yang berjumlah sekitar 29.937 orang, maka kebutuhan guru untuk tahun 2004 yaitu 157.666 orang. Namum, jumlah kebutuhan guru tersebut masih harus bertambah dengan guru yang pensiun, sehingga kebutuhan guru untuk tahun 2005 menjadi 218 ribu orang. Dalam rangka menuntaskan Program Wajar Dikdas 9 Tahun, dimana sekitar 400 ribu anak usia 13-15 tahun akan memasuki jenjang SMP/MTs dibutuhkan sekitar 25 ribu guru setiap tahun.
Kekurangan guru tersebut bila ditihat dari dengan rasio guru terhadap siswa akan menjadi kontras. Pada tabel 2.2 di bawah ini menunjukkan rasio guru terhadap siswa pada jenjang SD, SMP, dan SMA tahun 2003 yaitu 21, 17, dan 14. Bila dibandingkan dengan rasio guru terhadap siswa berdasarkan standar nasional pendidikan, maka jumlah guru pada jenjang tersebut sudah sangat ideal. Rendahnya rasio tersebut merupakan indikasi adanya pendayagunaan guru yang tidak efisien yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu banyaknya guru yang menumpuk di perkotaan, kurikulum yang sangat terspesialisasikan pada pendidikan menengah, dan banyaknya sekolah dasar kecit dengan rata-rata jumlah murid di bawah 100 orang. Rasio pelayanan siswa per guru tersebut akan menjadi isu kebijakan penting dalam peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan, karena akan menghambat pemenuhan pembiayaan untuk biaya operasi satuan pendidikan dan upaya untuk meningkatkan gaji guru. Jumlah guru yang besar dan menumpuk pada tokasi tertentu ini banyak dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan SMP Terbuka sebagai guru bina atau guru pamong. Saat ini dari SMP Terbuka memerlukan 30.000 orang guru bina dan 13.000 guru pamong. Guru bina direkrut dari guru mata pelajaran SMP yang tugas mengajarnya betum mencapai tugas maksimat sedang guru pamong pada umumnya diambil dari guru SD/MI. Walaupun demikian kelebihan guru di sekolah-sekolah perkotaan ini masih merupakan persoalan yang perlu ditangani secara serius.
Masalah guru atau pendidik lainnya adalah masih terdapatnya kesenjangan guru dilihat dari keahliannya. Guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya (mismatch) yang masih banyak terjadi terutama pada jenjang SM swasta dan Madrasah Aliyah. Dalam kaitannya dengan kelayakan mengajar guru, data Balitbang tahun 2004 menyebutkan bawwa persentase guru yang tidak layak mengajar masih cukup tinggi, terutama pada jenjang SD yaitu sekitar 609.217 orang (49,3%) baik pada sekolah negeri maupun swasta, seperti yang tercantum pada Tabel di bawah ini.




No Janjan;
Pendidikan Siswa/
Sokolah Siswa/
Guru Siswa/
Kelas Kolas/ R.
Kelas Gurtui
Sekolah
1 T K 3 9 1 3 20 0.97 3
2 SLB 45 4 4 1.78 10
3 SD-4-Ml 172 20 26 1.14 8
a. SD 177 21 26 1.13 8
b. MI 136 16 22 1.15 9
4 SMP+MTs 307 15 39 1.00 21
a. SMP 376 17 40 1.02 22
b. MTs 181 11 35 0.94 17
5 SM+MA 354 13 36 1.07 27
a. SMA 391 14 38 1.02 29
b. MA 184 9 30 -
0.99 20
c. SMK 425 14 36 1.19 30
6 PT+PTAI 1.278 15 - _ 88
a. PT 1,267 14 - - 91
b. P TAI 1,518 20 - - 78
c. PTK 690 18 - - 36

Tabel 2.2
Rasio Pendidikan Tahun 2002/2003,


Tabel 2.3
Guru dan Kepala Sekolah Menurut Kelayakan Mengajar, Tahun 2002/2003


No. Jenjang Pendidikan
1 SD a. Layak Negeri
584,395 %
47.3 SWdSta
41,315 %
3.3 Jumlah
625,710 50.7
b. Tidak Layak 558,675 45.2 50,542 4.1 609,217 49.3
Jumlah 1,143,070 92.6 91,857 7.4 1,234,927 100.0
2 SMP a. Layak 202,720 43.4 96,385 20.7 299,105 64.1
b. Tidak Layak 108,811 23.3 58,832 12.6 167,643 35.9
Jumlah 311,531 66.7 155,217 33.3 466,748 100.0
3 SM4 a. Layak 87,379 38.0 67,051 29.1 154,430 67.1
b. Tidak Layak 35,424 15.4 40,260 17.5 75,684 32.9
Jumlah 122,803 53.4 107,311 46,6 230,114 100.0
4 SMK a. Layak 27,967 19.0 55,631 37.7 83,598 56.7
b. Tidak Layak 20,678 14.0 43,283 29.3 63,961 43.3
IJumlah 48,645 33.0 98,914 67.0 147,559 100.0

Proporsi guru yang berpendidikan di bawah kualifikasi minimal tersebut tentu tidak memadai jika Pemerintah ingin menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP dan SM yang menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Pada jenjang SMP, SMA dan SMK persentase guru yang belurn memiliki kualifikasi masing­masing adalah 36%, 33%, dan 43%.
Dilihat dari sisi penghasilan, guru PNS memiliki gaji yang belum memadai bila dibandingkan dengan gaji guru di negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai, atau Singapura, meskipun bila dibandingkan dengan gaji PNS lainnya di Indonesia gaji guru PNS relatif lebih baik karena adanya tunjangan fungsional. Kondisi yang memprihatinkan dirasakan pula oleh para guru bantu di sekolah­sekolah negeri yang memiliki penghasilan di bawah upah minimum regional.
Di samping permasalahan di atas, persoalan lain adalah masalah perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas profesinya yang belum optimal, seperti: dipaksa pensiun dini dan perlakuan yang tidak adil terhadap guru. Sementara itu, penghargaan kepada pendidik dan Tenaga kependidikan yang berprestasi dan berdedikasi juga masih minim. Hat ini mempengaruhi produktivitas pendidik dan Tenaga kependidikan. Di samping itu, permasalahan yang juga penting dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah belum efektif dan efisiennya manajemen guru, terutama pada pemerintah daerah.
Pada pendidikan tinggi, peningkatan mutu dan kualifikasi dosen menjadi faktor yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada tahun 2003, dari 58.664 orang di perguruan tinggi negeri (PTN, proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 baru mencapai 54,50%. Sedangkan pada PTS, dari jumlah 88.865 orang dosen yang ada, proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 hanya 34,50 %.
Tenaga kependidikan pada pendidikan non-formal (PNF) juga masih memerlukan perbaikan. Sampai tahun 2004, pamong belajar di seluruh tanah air berjumlah 3.432 orang. Pamong belajar yang berada di 5 (lima) UPT Pusat, yaitu Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) berjumlah 541 orang dan pamong belajar yang berada di 22 UPTD Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) berjumlah 443 orang. Pamong belajar yang berada di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kabupaten/kota berjumlah 2448 orang. Jumlah tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan besarnya sasaran dan luasnya jangkuan program pendidikan non-formal.
Sampai tahun 2004, pamong belajar yang berpendidikan Diploma sebanyak 175 orang, S-1 sebanyak 2047 orang, dan berpendidikan S-2 sebanyak 210 orang, yang lainnya masih berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah. Dari seluruh pamong belajar balai pengembangan, sebanyak 75% menguasai program PNF, maksimal 45% menguasai pengembangan program PNF dan 30% menguasai Tugas peningkatan mutu sumberdaya manusia. Sedangkan pamong belajar SKB yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru sebanyak 621 orang. Tugas pamong belajar SKB adalah melaksanakan percontohan dan pengendalian mutu program PLS. Tugas ini baru dikuasai oleh 65% dari jumlah pamong belajar SKB. Kemampuan lain yang harus dikuasai oleh pamong belajar SKB adalah memberikan bimbingan, pendampingan dan pemotivasian kepada masyarakat. Tugas ini baru dikuasai 45% dari jumlah pamong belajar yang ada di SKB.
Tenaga fungsional lain di lingkungan pendidikan non-formal adalah penilik. Penilik diseluruh Indonesia sampai dengan tahun 2004 dan telah diimpassing berjumlah 6.651 orang. Penilik yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru 2.345 orang. Tugas penilik sebagai pengendali program PNF baru dikuasai oleh 35% dari jumlah penilik yang ada. Tugas lain yang belum dikuasai secara baik oleh penilik adalah penguasaan program PNF dan kepenilikan PNF.
Dari aspek fisik, prasarana-sarana penunjang pendidikan belum sepenuhnya kondisinya memadai. Hal ini dapat dilihat misainya ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misainya, terdapat 72,8% SD yang memiliki perpustakaan sedangkan di Maluku Utara hanya lima persen yang sudah memiliki perpustakaan sekolah.
Tabel 2.4 Kondisi Ruang Belajar, Tahun 2003
Selain kondisi fasilitas yang demikian, juga banyak ruang belajar, dan sarana belajar lain seperti laboratorium, sarana olahraga yang rusak. Pada tabel 2.4 di bawah ini, dari sekitar 865.258 ruang belajar (lokal) terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%) yang rusak ringan dan rusak berat. Sementara pada jenjang SMP dari sekitar 187.480 ruang belajar terdapat 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%) yang juga mengalami rusak ringan dan berat. Pada jenjang SM terdapat sekitar 13.777 lokal (15,6%) yang rusak ringan dan rusak berat.





Jenjang % Kondisi Ruang Belajar Jumlah
Pend. LP RB RR
1. SD 42,1 23,3 34,6 865.258
2. SMP 82,3 5,1 12,6 187.480
3. SMA 92,3 2.0 5,6 78.412
4. SMK 92,0 3,0 5,0 97.290

Sumber: PDIP Bolitbang Depdiknas, 2003
LP= Layak Pakai, RB=Rusak Berat, Dan RR=Rusak Ringan
Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan, ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada keengganan orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut.



Fasilitas lainnya yang mempengaruhi mutu pendidikan ialah ketersediaan buku. Secara nasional, rata-rata rasio buku per SMK adalah 0,80; 0,85; 0,65; dan siswa untuk SD, SMP, SMA, dan
0,25., yang belum menunjukkan rasio 1.00 satu siswa satu buku. Masalah yang lebih besar tidak hanya terletak pada ketersediaan buku tetapi juga dalam pendayagunaan buku pelajaran tersebut dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru semakin memberatkan orangtua untuk membeli buku pelajaran, serta menimbulkan pemborosan yang tidak perlu karena buku yang ada di sekolah tidak dapat dimanfaatkan oleh siswa tahun berikutnya. Bahkan pada SMP Terbuka dimana buku modul merupakan sumber belajar utama masih sangat kurang, sehingga menganggu proses belajar mandiri. Kekurangan yang mencolok terjadi pada media penunjang yang lain, seperti laboratorium dan penunjang pembelajaran bahasa, terutama Bahasa Inggris.
Hal lain dalam kaitannya sarana dan prasarana pendidikan adalah penggunaan dan pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology atau ICT). Walaupun masih dalam lingkup yang terbatas, pendidikan di Indonesia sudah memanfaatkan ICT dalam pengelolaan dan pembelajaran. Pendidikan kejuruan yang dikelola oleh Dikmenjur Depdiknas, misalnya, telah merintis sistem pengelolaan dan mated pembelajaran untuk siswa SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan keterampilan oleh industri. Program komputerisasi dimulai sejak tahun 1980, dan menargetkan semua SMK di Indonesia sudah terhubung ke internet pada tahun 2006. Program yang sudah dilaksanakan hingga 2004 ialah: (a) Jaring Internet yang menghubungkan 784 SMK; (b) Jaringan Info Sekolah di 137 kabupaten/kota; (c) 31 Wide Area Network di 31 kabupaten/kota; (d) 44 ICT Center di 44 kabupaten/kota; (e) 8 Mobile Training Unit di 8 lokasi; dan (f) School Mapping yang telah dikembangkan oleh 271 SMK di seluruh tanah air. Selain itu, pustekom juga telah mengembangkan bahan betajar berbasis ICT antara lain (a) lebih dari 2000 judul program vidio pembetajaran; (b) lebih dari 5000 judul program audio pembelajaran; (c) lebih dari 500 judul bahan betajar berbasis computer dan internet. Program tersebut telah dimanfaatkan oteh lebih dari 30.000 sekolah jenjang SD,SMP,dan SMA/SMK atau yang sederajat. Kemudian siaran televisi juga telah dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan pendidikan seluruh jenjang dan jalur pendidikan dengan diresmikan TV Edukasi pada tahun 2004. siaran ini telah menjangkau 80 kabupaten/kota (11.500.000 pemirsa).
Namun, secara umum, pemanfaatan ICT di Indonesia masih amat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indikasi mengenai hat ini dapat dilihat dengan data pada tahun 2003. Kepemilikan PC per 100 orang Indonesia masih sangat rendah, yaitu baru mencapai 1,2; sementara Hongkong sudah mencapai 42,2; Jepang 38,2; Korea 55,8; Kuwait 16,1; Malaysia 16,7; Singapore 62,2; Taiwan 47,1; Thailand 4,0; dan China 2,7. Dari jumlah pemakai internet, Indonesia (2,5 juta) masih berada di bawah India (7,5 juta), Korea (26,7 juta), Malaysia (4,2 juta), dan Taiwan (10,6 juta). Dari jumlah pemasang situs internet, Indonesia (62 juta) masih berada di bawah China (160 juta), Hongkong (591 juta), India (86 juta), Korea (3822 juta), Malaysia (107 juta).
Ketertinggalannya dalam pendayagunaan ICT merupakan isu kebijakan penting pembangunan pendidikan Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, perlu diperluas dan diintensifkan pemanfaatan ICT di bidang pendidikan: pertama, untuk dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan pendidikan melalui otomatisasi pendataan, pengelolaan, dan perkantoran; kedua, pendayagunaan ICT baik sebagai materi kurikulum maupun sebagai media dalam proses pembelajaran interaktif.
Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan daya saing adalah anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun dalam efisiensi pengelolaannya. Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) sudah mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang pembangunan tainnya. Komitmen Pemerintah dalam metaksanakan UUD 1945 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionat dalam alokasi anggaran pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa memungut biaya secara bertahap mulai diwujudkan. Namun, anggaran tersebut baru mencapai 6,6% dari APBN yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran tersebut juga betum termasuk anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah metalui APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah juga betum.mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara cuma-cuma.
Apabila dibandingkan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Data laporan Human Development Indeks (2004) mengungkapkan dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar 1,3% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut telah mengatokasikan 7,9%, 5,0%, dan 3,2% dari PDB-nya masing-masing. Namun Susenas 2003 mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita untuk pendidikan telah mencapai 2,2% untuk daerah perdesaan dan 4,5% untuk daerah perkotaan atau rata-rata nasional sebesar 3,5%. Kontribusi masyarakat dalam penyediaan anggaran pendidikan masih lebih besar dari kontribusi anggaran yang diketuarkan oleh pemerintah. Hat ini menunjukkan sebuah potensi besar karena jika 20% dari APBN/APBD dapat diwujudkan dengan asumsi kontribusi masyarakat bersifat konstan.
Satuan-satuan pendidikan dan Pemerintah Kabupaten/Kota lebih banyak mengatokasikan sebagian anggaran untuk gaji guru, sementara biaya operasi satuan pendidikan di tuar gaji hanya mencapai paling tinggi 5-10%. Akibatnya, pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi antardaerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk gaji dan di tuar gaji, masih sangat besar sehingga menimbulkan potensi ketidakaditan datam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu.
Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu beorientasi pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembetajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang optimal.

7.92

4.68
3 92



^J
4 ~sti ~9b e
Grafik 2.6
Angka Mengulang kelas SD
Menurut Tingkat, Tahun 2004
9 8 7 6 5 3 2 ? 0
Muatan belajar yang terlalu terstruktur dan saran beban juga mengakibatkan proses pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan keadaan dan perubahan lingkungan fisik dan social di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreativitas untuk murid, guru dan kepala sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif. Persoalan tersebut ditambah dengan terlalu dominannya pengembangan otak kiri peserta didik, sehingga otak kanan menjadi kurang optimal sehingga gagasan kreatif dan inovatif dari peserta didik menjadi tumpul. Rendahnya kualitas pembelajaran terjadi pada hampir semua jenjang dan jenis pendidikan dapat menyebabkan rendahnya angka efisensi pendidikan, angka mengulang kelas dan putus sekolah yang masih tinggi.
Grafik 2.6 menunjukkan bahwa angka mengulang kelas pada SD kelas awal cukup tinggi, yaitu 7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat kecenderungan Angka mengulang kelas menurut tingkat kelas, makin tinggi tingkat kelas makin rendah angka mengulang kelas di SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa/i SD/MI dan 270.000 siswa/i SMP/MTs putus sekolah setiap tahun.



6 5 4 3 2 0
SD SNP SNWSMC Fr
13 Lald2 • Pererrpuan 0 Recta
Grafik 2.7 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2004
Grafik 2.7 menunjukkan bahwa makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiansi pengolahan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka putus sekolah anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan.

Faktor yang turut berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pendidikan adalah rendahnya kemampuan pengelolaan berbagai input pendidikan baik dalam- menjalankan proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan secara keseluruhan baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan yang ada di atasnya. Hat ini dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang ditakukan oleh tenaga fungsional seperti pengawas sekotah untuk tingkat SD dan/atau pengawas bidang studi untuk tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala sekotah sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hash belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para supervisor, sehingga kelamahan-kelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat teridentifikasi secara akurat.



Grafik 2.8 Nilai Ujian Nasional SMA Program IPA Tahun 2003/04 dan 2004105
8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
B Ind B Ingg Mat Rata2
102003/04 02024/05
Sementara itu, rendahnya mutu hash belajar ditandai oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 42,5%. Dengan standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%.
Walaupun angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/05 lebih tinggi bita dibandingkan dengan tahun 2003/04, namun sesungguhnya bila dilihat dari nitai yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti dari nitai rata-rata UN sebesar 5,55 tahun 2003/04 menjadi 6,76 pada tahun 2004/05. Grafik 2.8. menunjukkan peningkatan Nilai UN pada ketiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.
Mutu akademik antarbangsa melatui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang IPA menempati peringkat ke 38, sementara untuk bidang Matematika dan Kemampuan Membaca menempati peringkat ke 39. Jika dibandingkan dengan Korea, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke 8, Membaca peringkat ke 7 dan Matematika peringkat ke 3.
Mutu pendidikan non akademik juga masih bermasalah yang dapat dilihat dari peritaku dan sikap peserta didik dalam kehidupan sosiat, baik saat berada di lingkungan sekolah maupun di tuar sekolah. Dari jumtah kasus yang ada, seperti perkelahian masat, pritaku kesopanan, dan tata kehidupan lainnya, belum mencerminkan nitai-nitai budaya dan norma-norma yang berlaku.
Walaupun mutu lulusan pada semua jenjang pendidikan masih rendah, namun sesungguhnya potensi peserta didik kita cukup tinggi, hat ini ditandai oleh berhasitnya siswa siswa kita meraih berbagai kejuaraan dalam olimpiade international bidang sains dan matematika. Berdasarkan data asal sekolah peserta yang berhasil menjadi juara olimpiade, ternyata pada umumnya mereka berasat dari sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembinaan yang baik dan ditunjang oleh guru-guru yang berkuatitas. Hat ini menunjukkan bahwa potensi peserta didik kita memiliki potensi yang baik, tetapi karena ditangani oleh suatu proses pembelajaran yang kurang berkualitas dan belum optimal ditunjang dengan prasarana dan sarana pendidikan, maka mutu tulusannya masih rendah.
Jika dilihat dalam konteks kemanfaatannya, mutu pendidikan harus dikaitkan dengan isu relevansi pendidikan. Pendidikan yang memiliki kekuatan daya saing ditandai dengan mutu pembelajaran dalam program-program pendidikan yang amat dibutuhkan oleh masyarakat. Keunggutan dan daya saing pendidikan Indonesia yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja lulusan pendidikan, Indonesia berada posisi 12 dari 12 negara di Asia (PERC, 2001). Pemeringkatan internasional tersebut tetah menitai sistem pendidikan Indonesia yang kurang relevan dengan kebutuhan pembangunan. Isu PERC yang mengaitkan kuatitas pendidikan dengan mutu tenaga kerja sebagai salah satu faktor ekonomi telah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas dan produktivitas pekerja.

LAPANGAN USAHA 2004 2005 2007 2009
1. Pertanian 0.15 0.15 0.14 0.13
2. Pertambangan 0.09 0.08 0.08 0.07
3. Manufaktur 0.26 0.26 0.26 0.27
4. Utiliktas 0.02 0.02 0.02 0.02
5. Bangunan 0.06 0.06 0.06 0.07
6. Perdagangan 0.16 0.16 0.16 0.17
7.Pengangk danKom 0.09 0.09 0.10 0.11
8. Keuangan 0.07 0.08 0.08 0.08
9. Jasa-Jasa o.o9 o.o9 o.o9 o.o9

Tabel2.5
Perkiraan Produk Domestik Bruto (%)
Dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan, perspektif analisis ekonomi dan ketenagakerjaan terhadap pendidikan tetap diperlukan, namun belum lengkap atas dasar perspektif pembentukan manusia dan masyarakat
Indonesia seutuhnya. Analisis ini diarahkan pada keseimbangan Atas Dasar Harga Konstan, struktural antara struktur ekonomi dan ketenagakerjaan di satu pihak dengan struktur pendidikan di lain pihak. Sistem pendidikan dianggap relevan jika memiliki keseimbangan secara struktural dengan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan. Artinya, bahwa lulusan pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan di berbagai sektor. Keseimbangan struktural tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.

Sektor Industri 2004 2005 2007 2009
1. Pertanian 0.43 0.43 0.41 0.39
2. Pertamban an 0.01 0.01 0.01 0.01
3. Manufaktur 0.13 0.13 0.14 0.14
4. Utilitas 0.00 0.00 0.00 0.00
5. Ban unan 0.05 0.05 0.05 0.05
6. Perda an an 0.19 0.19 0.20 0.20
7. Pengangk dan Kom 0.06 0.06 0.06 0.07
8. Keuan an 0.01 0.01 0.02 0.02
9. Jasa-Jasa 0.12 0.12 0.13 0.13
Jumlah 1.00 1.00 1.00 1.00

Tabel 2.6
Proyeksi Penyerapan Domestik Bruto (%)
Atas Dasar Harga Konstan,
Tahun 2004-2010
Sumber:diolahdarilndikatorekonomiBPS
Dalam kurun waktu lima tahun kedepan, walaupun perubahan kontribusi sektoral terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat kecil, namun dalam jangka panjang perubahan struktur PDB tersebut cenderung mengarah pada penguatan industri. Kecenderungan ini tampak sedikitnya dari kontribusi sektor-­sektor sekunder dan tersier yang semakin tinggi seperti: Industri Pengolahan (26% menjadi 2790); Hotel dan Restoran (16% ke 17%); Pengangkutan dan Komunikasi (9% menjadi 11%), dan Keuangan (7% menjadi 8%). Sementara itu, kontribusi sektor primer, seperti sektor pertanian, terus menurun dari 43% menjadi 39% dalam kurun waktu yang sama.
Penguatan struktur industri dari sisi PDB tidak diikuti secara seimbang dengan terjadinya penguatan struktur angkatan kerja. Kontribusi sektor primer dalam penyerapan angkatan kerja nasional masih dominan, yaitu 43% dan menurun sedikit menjadi 39% dalam lima tahun ke depan. Di lain pihak, Industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB hanya mampu menyerap tenaga kerja 14% saja, sementara Sektor Pertanian yang menyumbang hanya 14% terhadap PDB menyerap angkatan kerja paling besar. Data ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural, antara ekonomi Indonesia yang sudah mulai berstruktur industri yang tidak diimbangi dengan nilai-nilai kultur masyarakat Indonesia yang secara agregat masih didominansi oleh sektor agraris dan tradisional.
Struktur ekonomi dan nilai kultur pada masyarakat Indonesia yang masih dominan agraris ini masih dicirikan dengan gejala-gejala ketimpangan secara struktural dan kultural. Sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan jasa di Indonesia masih berciri subsisten, dan padat karya (labor intensive) yang diandalkan sebagai sektor penyerap terbesar angkatan kerja berpendidikan rendah. Produktivitas pekerja sektor subsisten ini jauh lebih rendah daripada mereka yang bekerja di sektor industri. Sementara itu, sektor-sektor modern (industri pengolahan, pertambangan, dan komunikasi, serta jasa) lebih bersifat padat modal (capital intensive) sehingga lebih membutuhkan pekerja berkeahlian khusus dan profesional. Walaupun nilai upah rata-rata para pekerja sektor moderen jauh lebih tinggi namun jumlahnya belum dominant dibandingkan dengan jumlah pekerja sector subsisten. Struktur ekonomi Indonesia yang dominan agraris dan kurang produktif ini menjadi factor terbesar lambannya pertumbuhan ekonomi nasional.
Atas dasar permasalahan itu, perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat harus ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam pembangunan pendidikan. Mutu dan relevansi pendidikan tercermi dari kemampuan membentuk kecakapan (competence) lulusan agar dapat menjadi pekerja produktif dengan upah yang lebih tinggi. Kesempatan pendidikan keahlian, keterampilan dan profesi harus besar dan merata dikaitkan dengan sentra-sentra pengembangan ekonomi industri, pendayagunaan iptek, dan peningkatan kecakapan hidup yang sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat.
Salah satu dampak rendahnya kualitas pendidikan adalah rendahnya kemampuan wirausaha dari lulusannya. Lulusan pendidikan menengah dan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding menciptakan pekerjaan secara mandiri. Data menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan penduduk semakin besar proporsi yang bekerja sebagai pekerja, buruh, atau karyawan. Dari seluruh lulusan PT yang bekerja sebagai pekerja, buruh atau karyawan mencapai sekitar 83,19. Sebaliknya, pekerjaan yang mandiri lebih banyak diciptakan oleh pekerja yang berpendidikan rendah (Lutusan SD dan SMP sekitar 21,39 dan 22,49) (Susenas, BPS, 2004).
Kegiatan penelitian dan pengembangan serta publikasi hash-hasitnya masih sangat terbatas. Di samping itu proses transfer pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kuatitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang betum memadai, sangat sedikit hasit penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oteh masyarakat dan masih sedikit puta yang sudah dipatenkan dan hak kekayaan intetektual.



Tabel 2.7
Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Pendidikan yang Ditamatkan (2004)


No. Pendidikan
Tertinggi
yang
Ditamatkan Berusaha
Sendiri
tanpa
Dibantu Berusaha
Sendiri
dengan
Dibantu Berusaha
Dengan
Buruh
Teta Pekerjal
Buruhl
Karyawan Pekerja
Belbas
Pertanian Pekerja
Bebas
Non.
Pertanian Pekerja
Tidak
Dibayar
1. T/BPS 18,7 39,0 1,9 4,5 9,1 2,1 24,7
2. T/BT SD 20,8 33,0 2,5 8,9 8,8 3,5 22,5
3. SD 21.3 27,4 2,8 14,8 6,1 5,3 22,2
4. SMP 22,7 19,5 3,6 27,0 3,2 4,7 19,3
5. SMA 16,7 12,2 4,2 52,7 0,8 2,4 10,9
6. SMK 13,8 8,3 3,8 64,0 0,4 2,5 7,2
7. Diploma I/II 5,1 2,7 1,4 88,9 0,0 0,0 1,9
8. Diploma III 6,3 3,4 3,7 82,0 0,1 0,3 4,1
9. Universitas 5,8 3,4 4,9 83,1 0,0 0,5 2,2
TJumlah 1 19,5 23,0 3,1 27,2 4,7 4,0 18,5


C. Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Pemerintah telah melakukan perintisan datam mengembangkan berbagai model desentratisasi pengelolaan pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menerapkan kebijakan pendidikan dalam kerangka desentratisasi, misalnya melalui a) penetapan formula dan mekanisme bantuan bagi perbaikan dan pengembangan satuan pendidikan, b) penguatan proses akuntabilitas dan education governance, c) penetapan sistem keuangan dan perencanaan sekotah, d) pengembangan kapasitas (capacity building) mutai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan satuan pendidikan. Namun dalam petaksanaannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Salah satu kendalanya adalah belum tersedianya sistem informasi manajemen yang akurat.
Dampak positif pengelolaan pendidikan dalam era desentralisasi mulai tampak jelas. Pertama, sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam melaksaakan perubahan organisasi untuk merespon peran dan fungsi yang berubah. Kedua, tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat. Ketiga, pada tingkat pusat, reformasi struktur organisasi Departemen lebih diarahkan pada semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respon positif terhadap tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi.
Terdapat sejumlah pelajaran yang dapat diambil dari kajian terhadap dampak awal pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Bupati/Walikota memiliki posisi penting dalam merintis proses perubahan. Namun, perubahan tersebut tidak akan berdampak positif jika kapasitas daerah dalam manajemen pendidikan masih rendah. Dampak positif desentralisasi terhadap perubahan pendidikan akan beriangsung secara berkelanjutan jika perubahan tersebut dilakukan atas dasar inisiatifnya sendiri, karena akan mewujudkan komitmen daerah yang tinggi dalam pelaksanan kebijakan desentralisasi. Oleh karena itu, setiap upaya sosialisasi kebijakan strategis nasional harus dilakukan dengan keterlibatan langsung bupati/walikota, sehingga transparansi dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan pendidikan menjadi optimal.
Dampak positif lain adalah mulai tampak adanya kebutuhan legislasi dan regulasi dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Sebuah studi menunjukan bahwa implementasi kebijakan dan program di daerah sangat bervariasi, sebagai akibat dari belum jelasnya sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan urusan wajib setiap tingkat pemerintahan dalam pelayanan pendidikan. Oleh karena itu, tugas-tugas dekonsentrasi provinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah perlu diperjelas dan segera ditetapkan dalam PP Urusan Wajib dan Urusan Pilihan sesuai UU Nomor 32/2004. Untuk sementara, urusan wajib kabupaten/kota sudah diatur dalam SPM yang dietapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Nomor 129a/U/2004.
Dampak yang kurang positif dari desentralisasi adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan program belum didukung oleh penggunaan data dan informasi yang akurat pada berbagai tingkatan. Di masa lalu, arus data dan informasi secara langsung dikendalikan oleh pusat, sementara itu provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan hanya bertindak sebagai saluran informasi dan bukan sebagai pengguna akhir. Sampai saat ini, setiap direktorat atau unit utama masih mengembangkan sistem informasi sendiri-sendiri yang masih juga dilakukan secara terpusat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem informasi dalam suatu sistem terpadu dengan fungsi yang jelas di antara masing-masing unit, dengan penekanan pada penguatan daerah dalam pengumpulan dan pengolahan data.
Salah satu fungsi manajemen yang penting yaitu pengawasan terhadap berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan upaya pemerataan dan perluasan akses serta peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Pengawasan yang dapat dilakukan dengan cara monitoring dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas pendayagunaan sumberdaya dalam pembangunan pendidikan dengan cara menekan sekecil mungkin terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemberantasan KKN merupakan isu strategis dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga tidak sampai 2 (dua) bukan setelah menjadi presiden, Instruksi Presiden Nomor: 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian diperjelas dengan Keputusan Sekretaris Kabinet No. 147/Seskab/04/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi telah dikeluarkan.
Berkaitan dengan maraknya isu KKN dan berdasarkan data hasil pemeriksaan oleh BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2004, di Departemen Pendidikan Nasional juga terindikasi adanya penyimpangan terhadap sumber dana pembangunan. Selama kurun waktu tersebut telah diketemukan sebanyak 8.817 temuan/kasus yang mengindikasikan adanya korupsi dalam bentuk uang yang jumlah nominalnya cukup besar. Oleh sebab itu salah satu program penting Departemen Pendidikan Nasional dalam lima tahun yang akan datang adalah percepatan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pengawasan dan monitoring menjadi sangat penting dalam pembinaan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen untuk mencegah terjadinya KKN dan meningkatkan akuntabilitas departemen.
Permasalahan kapasitas pendidikan tinggi, terutama dalam masa transisi dari institusi perguruan tinggi dari yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah menuju masa otonomi satuan pendidikan tinggi yang diharapkan memiliki keleluasan dan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdaya pendidikan secara efisien untuk mewujudkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk merespon lingkungan yang berubah secara otonom dan unik.
Kapasitas ditentukan oleh kemampuan setiap perguruan tinggi untuk melakukan menelaah informasi, memahami permasalahannya, menentukan pemecahan masalah, mengambil keputusan untuk memecahkan masalah, merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi terhadap hasil-hasi kerjanya. Oleh karena itu, kemampuan dalam mengembangkan kebijaksanaan dan program, misalnya, pada bidang: keuangan, ketenagaan, governance, penjaminan mutu, serta rencana dan program infrastruktur, adalah kapasitas yang perlu dimiliki oleh PT yang otonomi dan sehat.





BAB III
KERANGKA KEBIJAKAN PENDIDIKAN JANGKA MENENGAH
Berdasarkan analisis situasi dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program sampai dengan tahun 2004 telah diidentifikasi sejumlah permasalahan, tantangan dan peluang untuk membangun pendidikan yang lebih demokratis dan bermutu dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Untuk itu, perlu dirumuskan kebijakan strategis, program strategis, dan sasaran yang lebih realistis melalui pendekatan pembangunan yang lebih efektif. Renstra 2005­2009 disusun dengan menggunakan pendekatan sektor secara keseluruhan (sector-wide approach) dalam rangka mewujudkan integrasi dan harmonisasi antarprogram. Keterkaitan antarprogram pembangunan pendidikan sangat diperlukan agar dicapai efisiensi dan produktivitas sektor secara optimal.
Renstra Diknas 2005-2009 menggunakan tiga tema kebijakan utama pembangunan pendidikan, yaitu (i) pemerataan dan perluasan akses, (ii) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing (iii) governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Setiap tema tercermin dalam kebijakan, program, kegiatan, sasaran, dan penganggarannya.
A. Kebijakan Umum
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat IPM hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik dari peringkat IPM sebelum krisis. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 dilakukan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, dengan mempertahankan APM-SD pada tingkat 94%, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 97,4% atau APM 75,5% serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5%.
Penuntasan wajar dikdas 9 tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi dan sosial­budaya (yaitu penduduk miskin, memiliki hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil), maupun hambatan atau kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual peserta didik. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih efektif antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka yang belum bersekolah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumtahnya, untuk memperoleh layanan pendidikan. Di samping itu, akan dilakukan strategi yang tepat untuk meningkatkan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, khususnya pada masyarakat yang menghadapi hambatan tersebut.
Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun akan menambah jumlah lulusan SMP/MTs/SMPLB setiap tahunnya, sehingga juga akan mendorong perluasan pendidikan menengah. Dengan bertambahnya permintaan pendidikan menengah, Pemerintah juga melakukan perluasan pendidikan menengah terutama bagi mereka yang karena satu dan lain hat tidak dapat menikmati pendidikan SMA yang bersifat reguler, melalui SMA Terbuka dan Paket C, sehingga pada gilirannya mendorong peningkatan APM-SMA. Oleh karena SMA cenderung semakin meluas jauh di atas SMK, maka Pemerintah lebih mempercepat pertumbuhan SMK diiringi dengan upaya mendorong peningkatan program pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Pemerintah akan memperluas akses pendidikan tinggi untuk menjawab meningkatnya partisipasi sekolah menengah. Meningkatnya angka partisipasi PT tersebut akan diiringi oleh kebijakan yang mengarah pada pencapaian daya saing lulusan PT secara global. Secara bersamaan, dilakukan upaya untuk meningkatkan proporsi jumlah keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Salah satu upaya untuk pemenuhan tersebut diantaranya melalui peningkatan jumlah keahlian bidang vokasi melalui institusi potiteknik. Selain itu, dikembangkan program community college yang merupakan upaya harmonisasi antara pendidikan kejuruan di SMK, pendidikan non-formal berketanjutan, dan PT vokasi. Di samping itu, untuk meningkatkan APK PT dapat dicapai dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat mendapat pelayanan pendidikan yang memadai.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas fiskal Pemerintah, strategi perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi lebih diarahkan pada peran partisipasi swasta dalam mendirikan tembaga pendidikan tinggi baru. Namun, strategi perluasan akan dikaitkan dengan pencapaian mutu yang lebih baik dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global. Untuk itu, pemerintah akan terus membenahi peraturan dan perundang-undangan serta memperkuat kapasitas kelembagaan yang terkait dengan fungsi pengendalian dan penjaminan mutu.
Kebijakan perluasan pendidikan tinggi juga dilakukan searah dengan upaya membuka kesempatan bagi calon mahasiswa yang berasal dari penduduk di atas usia ideal pendidikan tinggi (>24 th) seperti karyawan, guru sekolah, tenaga spesialis industri, termasuk dalam pendidikan non-gelar dan pendidikan profesi yang mengutamakan penguasaan pengetahuan, keterampitan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja industri.
Perluasan akses pendidikan tinggi juga dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembelajaran digital jarak jauh yang semakin luas dan efektif. Universitas Terbuka dan institusi sejenis lainnya ditugaskan untuk mengimplementasikan strategi ini, dengan memanfaatkan secara optimal ICT dalam proses pembetajaran, pengelolaan, dan akses informasi. Dalam kaitan itu, Ditjen Pendidikan Tinggi memprioritaskan investasi infrastruktur ICT untuk mendukung pelaksanaan pembetajaran jarak jauh pada Universitas Terbuka dan peraturan tinggi lainnya serta Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan.
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut.
(a) Mempertuas akses bagi anak usia 0-6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan sekotah dasar.
(b) Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang pendidikan dasar baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan pemberian subsidi biaya personal terutama bagi siswanya berasal dari keluarga miskin pada jenjang pendidikan dasar melalui pemanfaatan BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
(c) Membentuk "SD-SMP Satu Atop" bagi daerah terpencit yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di witayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.
(d) Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memitiki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melatui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
(e) Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT.
(f) Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses SMA, khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain dikembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif.
(g) Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Pertuasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah tutus.
(h) Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada universitas untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh.
(i) Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja
(j) Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui program­program pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan non-formal.
(k) Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah konflik, perbatasan, dan lain-lain, serta mengimplementasikannya dalam berbagai program secara terpadu.
(l) Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah
(m) Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat ICT lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.
2. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa depan diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berahlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan non-akademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik ditingkat lokal, nasional maupun global.
Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, sandar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah memberikan intervensi kepada satuan-satuan dan program (studi) pendidikan untuk mencapai standar yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Standar-standar tersebut digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan dan program pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), Pendidikan Dasar (Dikdas), Pendidikan Menengah (Dikmen), Pendidikan Non-formal (PNF), sampai dengan Pendidikan Tinggi (Dikti).
Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perubahan inovasi pembelajaran baik pada pendidikan formal maupun non-formal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan anak. Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD serta kelas-kelas rendah sekolah dasar lebih memperhatikan prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin memperhatikan pengembangan kecerdasan rasional dalam rangka memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi disamping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spritual peserta didik.
Upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara berkelanjutan akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat. Dalam pelaksanaannya koordinasi tersebut didelegasikan kepada Gubernur atau aparat vertikal yang berkedudukan di provinsi. Manajemen mutu tersebut akan dilaksanakan melalui kebijakan strategis sebagai berikut.
(a) Mengembangkan dan menetapkan standar nasional pendidikan sesuai dengan PP SNP No. 19/2005, sebagai dasar untuk melaksanakan penilaian pendidikan, peningkatan kapasitas pengelolaan pendidikan, peningkatan sumberdaya pendidikan, akreditasi satuan dan program pendidikan, serta upaya penjaminan mutu pendidikan.
(b) Melaksanakan evaluasi pendidikan melalui ujian nasional yang dilakukan oleh sebuah badan mandiri yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ujian nasional mengukur ketercapaian kompetensi siswa/ peserta didik berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan secara nasional (benchmark). Hasil ujian nasional tidak merupakan satu­satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa pada setiap satuan pendidikan tetapi terutama sebagai sarana untuk melakukan pemetaan dan analisis mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional.
(c) Melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) melalui suatu proses analisis yang sistematis terhadap hasil ujian nasional dan hasil evaluasi lainnya yang dimaksudkan untuk menentukan faktor pengungkit dalam upaya peningkatan mutu, baik antar-satuan pendidikan, antar kabupaten/kota, antar-provinsi, atau melalui pengelompokan lainnya. Analisis dilakukan oleh pemerintah bersama pemerintah provinsi yang secara teknis dibantu oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) pada masing-masing wilayah. Berdasarkan analisis itu, diberikan intervensi terhadap satuan dan program (studi) pendidikan di antaranya melalui: pendidikan dan pelatihan terutama pengembangan proses pembelajaran efektif, pemberian bantuan teknis, pengadaan dan pemanfaatan sumberdaya pendidikan, serta pemanfaatan ICT dalam pendidikan. Disamping itu untuk mempercepat tercapainya pemerataan mutu pendidikan dilakukan pemberian subsidi yang diarahkan pada satuan pendidikan yang belum mencapai standar nasional.
(d) Melaksanakan akreditasi satuan dan/atau program pendidikan untuk menentukan status akreditasinya masing-masing. Penilaian dilakukan setiap lima tahun dengan mengacu pada SNP. Akreditasi juga dapat menggunakan rata-rata hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan status akreditasi tersebut. Hasil akreditasi dijadikan sebagai landasan untuk melakukan program pengembangan kapasitas dan peningkatan mutu setiap satuan atau program pendidikan. Pelaksanaan akreditasi ini akan dilakukan secara independen oleh Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM), dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF).
3. Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Tujuan jangka panjang Depdiknas adalah mendorong kebijakan sektor agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategic serta program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Di camping itu, disusun pula pola-pola pendanaan bagi keseluruhan sektor berdasarkan prioritas, baik dari sumber Pemerintah, orangtua maupun stakeholder lain di setiap tingkat pemerintahan.
Pengelolaan pendidikan nasional menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor pendidikan (sector-wide approach) yang bercirikan: (a) program kerja disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan implementasi kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi institusi dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas, dan (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan peran-peran stakeholder yang lebih luas.
Pemerintah melaksanakan pengembangan kapasitas institusi pendidikan secara sistemik dan terencana dengan menggunakan pendekatan keseluruhan sektor tersebut di atas. Strategi pengembangan kapasitas lebih diarahkan pada proses manajemen perubahan secara endogeneous atau perubahan yang didorong secara internal. Perubahan yang didorong secara internal akan lebih menjamin terjadinya perubahan secara berkelanjutan, menumbuhkan rasa kepemilikan, kepemimpinan, serta komitmen bersama.
Kebijakan governance dan akuntabilitas meliputi sistem pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS), untuk membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengetolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan.
Pemerintah bertekad mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan profesionalisme aparatur. Untuk itu, segenap aparatur yang ada di Departemen Pendidikan Nasional pertu meningkatkan kinerjanya untuk mewujudkan pelayanan yang bermutu, merata dan adil di dalam suatu tata kelola pemerintahan yang sehat. Aparatur juga perlu mengubah mindset atas perilaku dan sikap seorang birokrat menjadi pelayan masyarakat yang profesional.
Kebijakan perwujudan tata kelola pemerintahan yang sehat dan akuntabel dilakukan secara intensif melalui sistem pengendalian internal (SPI), pengawasan masyarakat, serta pengawasan fungsional yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan dan melaksanakan SPI pada masing-masing satuan kerja dalam mengelola kegiatan pelayanan pendidikan sehari-hari. Pengawasan fungsional dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan RI, dan BPKP terhadap hasil pembangunan pendidikan, sedangkan pengawasan masyarakat dilakukan langsung oleh individu-individu atau anggota masyarakat yang mempunyai bukti-bukti penyalahgunaan wewenang.
Sejalan dengan pembagian kewenangan antartingkat pemerintahan berdasarkan otonomi dan desentralisasi, pemerintah pusat mengkoordinasikan manajemen mutu pendidikan, sementara pemerintah daerah berperan dalam manajemen sarana/prasarana dan operasional layanan pendidikan. Untuk peningkatan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan kapasitas daerah serta penataan governance pendidikan yang sehat dan akuntabet, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, pemerintah daerah lebih berperan dalam mendorong otonomi satuan pendidikan melalui pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu.
Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut di atas terdapat fungsi­fungsi baru yang harus dijalankan oleh pusat maupun daerah. Untuk itu dikembangkan mekanisme yang akan mengatur berbagai fungsi baru yang telah diidentifikasi tersebut dalam suatu struktur, sistem dan mekanisme yang baru didukung oleh peraturan perundangan yang sesuai. Berbagai identifikasi dan kajian mengenai pentingnya fungsi dan institusi baru yang diperlukan untuk pelayanan pendidikan dalam masa otonomi dan desentralisasi dilakukan secara komprehensif oleh Depdiknas.
Sesuai dengan kerangka pengaturan dan kerangka institusional, disusun kebijakan untuk mendorong terjadinya penguatan kapasitas satuan dan program pendidikan yang ada pada setiap tingkatan pemerintahan. Penguatan kapasitas satuan atau program pendidikan diorientasikan untuk mencapai status kapasitas tertinggi suatu satuan pendidikan, yaitu jika dapat memenuhi atau di atas SNP. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk mendorong agar sebagian besar satuan pendidikan yang masih berada di bawah SNP secara bertahap akan diperkuat sehingga mampu melampaui SNP. Bagi satuan-satuan pendidikan yang sudah memenuhi SNP, akan didorong untuk memacu mutunya lebih tinggi lagi hingga dapat mencapai standar internasional. Pada tahun 2009, Pemerintah akan mendorong peningkatan proporsi satuan pendidikan untuk dapat mencapai sama atau di atas SNP setidak-tidaknya mencapai 25% SD, 40% SMP, 50% SMA, dan 50% SMK pada tahun 2009.
Pengembangan kapasitas diarahkan pada peningkatan kemampuan Kabupaten/kota secara sistematis untuk memberikan pelayanan pendidikan yang efektif dan akuntabel sesuai dengan SNP. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan pada kabupaten/kota dikembangkan dan diremajakan indikator-indikator kinerja pengelolaan layanan pendidikan, baik pada jalur formal maupun non-formal yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam jangka menengah diperkuat kapasitas pengelolaan layanan pendidikan terhadap kabupaten/kota sehingga dapat menambah kabupaten/kota yang memiliki kapasitas pelayanan sesuai dengan SNP.
Penguatan kapasitas pendidikan tinggi dilakukan melalui pengembangan mekanisme untuk mewujudkan kesehatan organisasi dan otonomi masing­- masing perguruan tinggi. Secara keseluruhan, upaya tersebut dilakukan dengan menetapkan sistem, mekanisme, norma-norma, dan standar yang relevan yang dapat dijadikan acuan bagi masing-masing perguruan tinggi untuk meningkatkan kesehatan institusinya. Pada tahun 2009, diharapkan mekanisme kerja institusi dan aturan perundangan yang diperlukan sudah dapat diselesaikan.
Pengembangan kapasitas bagi setiap tingkat pemerintahan harus diarahkan pada peningkatan efisiensi pendidikan sebagai berikut.
(1) Pada tingkat Pemerintah, prioritas pengembangan kapasitas mencakup penataan kelembagaan, penguatan sistem advokasi strategic dan monitoring, perbaikan sistem informasi kinerja dalam memetakan pencapaian SNP oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
(2) Pada tingkat provinsi, pengembangan kapasitas harus lebih diarahkan pada peningkatan institusi pengelola dalam melaksanakan fungsi dekonsentrasi, yaitu kemampuan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam mengelola pelaksanaan kegiatan yang menjadi wewenang pusat, misalnya pengendalian mutu, penjaminan mutu, evaluasi dan monitoring program, serta akreditasi. Kapasitas provinsi juga perlu ditingkatkan dalam melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan antarkabupaten/kota.
(3) Pada tingkat kabupaten/kota, perlu penguatan kapasitas dalam menyusun kebijakan, rencana strategic dan operasional, sistem informasi dan sistem pembiayaan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Kabupaten/kota berfungsi sebagai facilitator yang memberikan kemudahan dan otonomi yang lebih Was bagi satuan pendidikan dalam upaya mencapai kemandirian.
(4) Pada pendidikan tinggi, terutama dalam masa transisi dari sentralisasi menuju masa otonomi, pengembangan kapasitas dilakukan kearah mewujudkan perguruan tinggi yang memiliki keleluasaan untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu secara sehat dan akuntabel. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk merespon linkungan yang berubah secara otonom dan unik.
(5) Pada satuan pendidikan, penguatan kapasitas tercermin dari kemampuan satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran efektif untuk mencapai standar nasional pendidikan. Untuk itu, perlu ditingkatkan kemampuan kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya dalam memanfaatkan sumber daya pendidikan agar mendorong kegiatan belajar peserta didik secara optimal.
Dalam rangka peningkatan akuntabilitas satuan pendidikan, sistem monitoring dan evaluasi ditata melalui mekanisme pelaporan kinerja satuan pendidikan. Peningkatan akuntabilitas ditokukan melalui pemberian bantuan bagi kabupaten/kota untuk metakukan monitoring kinerja pada satuan pendidikan. Melalui suatu governance, sistem audit kinerja akan lebih difokuskan pada pelaksanaan block grants yang tepat sasaran. Block grants ditengkapi dengan dana pendamping dari penerima sehingga dapat menimbulkan rasa kepemilikan dari suatu program pembangunan.
Dengan strategi-strategi tersebut di atas akuntabilitas publik dapat diwujudkan secara sehat metatui peningkatan fungsi kontrot dari stakeholder pendidikan dalam rangka meningkatkan efisiensi layanan pendidikan. Diharapkan dalam lima tahun yang akan datang (tahun 2009) informasi tentang kinerja satuan pendidikan dapat diakses oleh ketuarga dan masyarakat. SMK dan pendidikan tinggi vokasi didorong untuk menyediakan layanan informasi tentang penempatan kerja lulusannya sebagai bagian dari akuntabilitas satuan pendidikan.
Penerapan ICT akan dimanfaatkan secara optimal untuk membantu merealisasikan manajemen pendidikan yang transparan dan akuntabel. Model penerapannya dapat diwujudkan melalui media on-line yang memuat informasi dan laporan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan kepada publik atau stakeholder pendidikan lainnya. Dengan media tersebut, partisipasi masyarakat dalam bentuk usulan, kritik, atau informasi lainnya dapat diakomodasi secara lebih mudah dan terbuka kepada pembuat kebijakan.
B. Kebijakan Strategis
Kebijakan strategis dimaksudkan sebagai kebijakan-kebijakan yang memuat berbagai kegiatan pelaksanaan pembangunan pendidikan yang mendapat prioritas karena fungsinya yang strategis untuk menjamin tercapainya kegiatan-kegiatan jangka menengah RPJM. Kebijakan strategis ini terdiri dari 37 kegiatan prioritas yang secara proporsional memenuhi tujuan pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta peningkatan governance dan akuntabilitas pendidikan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Kebijakan strategic untuk pemerataan dan perluasan akses pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
1.1 Pendanaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) Wajar Pendidikan Dasar 9 Tahun; adalah kebijakan yang menempati urutan prioritas tertinggi dalam lima tahun ke depan. Hat ini sudah menjadi komitmen nasional seperti yang tertera pada Undang Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dengan kebijakan subsidi BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan “pendidikan dasar gratis”, yang diartikan sebagai bebas biaya secara bertahap
1.2 Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Wajar; merupakan kebijakan strategis berikutnya, yang akan dilakukan untuk mendukung perluasan akses pendidikan dasar dalam program Wajar Dikdas. Penyediaan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup penambahan sarana untuk pendidikan layanan khusus dan rehabilitasi serta revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan ini diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, dan buku pelajaran, yang diharapkan juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan dasar. Pembangunan USB/RKB diutamakan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk mencapai ketuntasan wajib belajar 9 tahun pada tahun 2008/2009.
1.3 Rekrutmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan; juga merupakan kebijakan strategic untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 tahun. Rekrutmen tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kecukupan jumlah dan kualifikasi guru profesional di berbagai jenjang dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran secara geografis, keahlian, dan kesetaraan gender. Pemerataan secara geografis mempertimbangkan pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, sistem insentif guru di daerah terpencil, pengangkatan guru tidak tetap secara selektif, serta tenaga pendidikan lainnya seperti pamong belajar pada jalur non-formal.
1.4 Perluasan Pendidikan Wajar pada Jalur Non-Formal; termasuk kebijakan strategic untuk mendukung program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi (APM/APK) pendidikan dasar melalui program Paket A dan B. Program ini sangat strategic untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang terpaksa bekerja.
1.5 Perluasan Akses Pendidikan Keaksaraan bagi Penduduk Usia >15 tahun; merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi hak memperoleh pendidikan bagi penduduk buta aksara. Hat ini dimaksudkan mendorong penduduk usia >15 tahun untuk mengikuti kegiatan keaksaraan fungsional agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung sesuai dengan standar kompetensi keberaksaraan. Melalui kebijakan strategis ini diharapkan akan menurunkan jumlah penyandang tiga buta, yaitu buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.
1.6 Perluasan Akses SLB dan Sekolah Inklusif; merupakan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif sehingga memperluas akses pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan belajar karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi bakat istimewa atau kecerdasan luar biasa.
1.7 Pengembangan pendidikan layanan khusus bagi anak usia wajar dikdas di daerah terpencil/kepulauan; daerah yang berpenduduk jarang dan terpencar; daerah bencana; daerah konflik; serta daerah terisolasi dan anak jalanan; adalah kebijakan untuk penduduk yang kesulitan akses karena faktor sosial ekonomi, geografis, sarana transportasi dan komunikasi. Kelompok penduduk yang kurang beruntung karena terisolasi atau hambatan lainnya, mendapat pelayanan khusus, antara lain melalui SD/MI Kecil/Paket A, SMP/MTs kecil/Paket B, SMP Terbuka dan SD-SMP "Satu Atap", Guru Kunjung dan kelas layanan khsusus di SD (KLK), termasuk layanan dengan memanfaatkan ICT, seperti radio, televisi, komputer dan internet.
1.8 Perluasan Akses PAUD; merupakan kebijakan untuk mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan bagi anak-anak usia 0-6 tahun. Kegiatan pemerintah lebih diarahkan untuk memberikan dukungan atau pemberdayaan bagi terselenggaranya pelayanan PAUD yang bermutu oleh masyarakat secara merata di seluruh pelosok tanah air. Subsidi blockgrants atau imbal swadaya akan diberikan untuk pengembangan PAUD, PAUD Model, dan berbagai bentuk integrasi PAUD ke dalam berbagai pelayanan sosial lainnya.
1.9 Pendidikan Kecakapan Hidup; merupakan kebijakan strategis bagi peserta didik yang orangtuanya miskin dan orang dewasa miskin dan/atau pengangguran. Pendidikan ini akan memberikan kompetensi yang dapat dijadikan modal untuk usaha mandiri atau bekerja mengingat masih besarnya jumlah mereka, maka kegiatan strategis ini menjadi sangat penting peranannya bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
1.10 Perluasan Akses SMA/SMK dan SM Terpadu; arah kebijakan ini lebih untuk memperluas SMK untuk mencapai komposisi jumlah SMA dan SMK yang seimbang pada tahun 2009. Perluasan SMA lebih ditekankan pada partisipasi swasta. Kebijakan ini jugs ditempuh setelah melihat kenyataan bahwa bagian terbesar (65%) penganggur terdidik adalah lulusan pendidikan menengah (Sakernas, BPS 2004), yang dapat diartikan sebagai kurangnya keterampilan lulusan pendidikan menengah untuk masuk lapangan kerja.
1.11 Perluasan Akses Perguruan Tinggi; Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi menargetkan pencapaian jumlah mahasiswa meningkat dari 14,3% (tahun 2004) menjadi 18,0% pada tahun 2009. Investasi membangun institusi baru untuk pendidikan tinggi akademik (umum) lebih didorong pada peran swasta, sementara peran pemerintah lebih pada pengembangan pendidikan vokasi dan pendidikan profesi pada perguruan tinggi yang sudah ada. Pendidikan tinggi akademik akan diperluas melalui penambahan ruang belajar, laboratorium, ruang praktikum, serta perpustakaan dalam rangka menambah daya tampung.
1.12 Pemanfatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai sarana Pembelajaran Jarak Jauh; kegiatan prioritas ini ingin mengembangkan sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, pendidikan formal dan pendidikan nonformal untuk mendukung perluasan dan pemerataan pendidikan tinggi, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan secara optimal dalam fungsinya sebagai media pembelajaran jarak jauh, dan juga untuk memfasilitasi manajemen pendidikan.
1.13 Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Perluasan Akses SMA/SMA/SMK/SM terpadu, SLB, dan PT; kegiatan ini termasuk dalam prioritas kebijakan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan : pertama, bahwa kemampuan keuangan pemerintah masih terbatas untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya sementara itu ada potensi yang cukup besar pada masyarakat; kedua, kecenderungan arah pembangunan
pendidikan yang ingin lebih banyak melibatkan partisipasi swasta di segala aspek penyelenggaraan, termasuk investasi, pengelolaan, dan pengawasan; ketiga, sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah pusat akan lebih banyak memainkan perannya sebagai fasilitator pelayanan publik yang bertugas membuat kebijakan-kebijakan strategic, yang antara lain dilakukan melalui pengendalian dan penjaminan mutu, pengembangan standar-standar, akreditasi, dan sertifikasi dalam rangka desentralisasi pendidikan. Peran yang demikian ingin mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan yang mandiri (otonom), baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat (swasta). Dalam pemberian subsidi biaya operasi penyelenggaraan pendidikan, pemerintah tidak lagi membedakan antara kepemilikan negara dan masyarakat/swasta.


Program strategi yang ditetapkan dalam rangka pemerataan dan memperluas akses pendidikan digambarkan sebagai berikut.
Pendanaan Biaya Operasi Wajar
Penyediaan sarana & prasarana pend. wajar
Rekrutmen Pendidik dantenaga Kependidikan



Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar

Perluasan akses pendidikan Wajar pada jalur non-formal

Perluasan akses. SMA/ SMK
dan SM terpadu
Perluasan akses PT
Pemanfaatan IC-T sbg media
pembelajaran jrk jauh

Peningkatan peran serta
masy. Dalam perluasan
akses SMA/SMK/SM terpadu,
SLB, dan PT









Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 tahun
PERLUASAN& PEMERATAAN PENDIDIKAN


Grafik 3.1.Kebijakan Strategis dalam Pemerataan dan Perluasan Akses

Perluasan akses SLB clan sekolah inklusif

2. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Kebijakan strategic untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut:
2.1 Implementasi dan Penyempurnaan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Penguatan Peran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP); merupakan Kebijakan strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya SNP dan BSNP, penataan berbagai aspek yang menunjang perbaikan mutu akan disusun, diuji coba dan diterapkan serta dikembangkan secara bertahap pada setiap satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan nasional.
2.2 Pengawasan dan Penjaminan Mutu secara Terpogram dengan Mengacu pada SNP; untuk mewujudkan sistem pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dikelolah mekanisme pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Kegiatan utamanya antara lain: pembentukan badan akreditasi nasional sekolah dan madrasah (BAN-SM), badan akreditasi nasional pendidikan nonformal (BAN-PNF), badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BAN-PT); menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu pendidikan; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan; evaluasi; dan ujian nasional untuk mengukur ketercapaian standar pendidikan yang telah ditetapkan; serta pengembangan kapasitas pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta satuan pendidikan.
2.3 Perluasan dan Peningkatan Mutu Akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF dan BAN-PT; akreditasi merupakan kebijakan strategis dalam penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan disetiap satuan pendidikan, kabupaten/kota, dan provinsi. Hasil penilaian akreditasi digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan bentuk dan besarnya bantuan yang perlu diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah.
2.4 Pengembangan Guru sebagai Profesi; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya, guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan.
2.5 Pengembangan Kompetensi Pendidik clan Tenaga Kependidikan; peningkatan kualitas pendidik clan tenaga kependidikan dilaksanakan dengan pemetaan profit kompetensi pendidik clan tenaga kependidikan dikaitkan dengan SNP, analisis kesenjangan kompetensi, serta penyusunan program clan strategi peningkatan kompetensi menuju pada tercapainya SNP.
2.6 Perbaikan clan Pengembangan Sarana clan Prasarana; merupakan kegiatan strategis yang ditujukan untuk rehabilitasi clan rekonstruksi sarana clan prasarana pendidikan yang rusak terutama pada pendidikan dasar untuk meningkatkan keamanan/keselamatan, kenyamanan, clan kualitas proses pembetajaran. Untuk mencapai mutu pendidikan sesuai dengan SNP dikembangkan sarana clan prasarana pendidikan terutama buku petajaran clan buku penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang praktek, sarana olah raga, sarana ibadah, clan sarana pendidikan lainnya.
2.7 Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup; merupakan kegiatan strategis dalam peningkatan mutu clan relevansi pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam berbagai satuan, jenis, jenjang, clan jalur pendidikan. Tujuannya agar keluaran pendidikan memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang terus berkembang secara mandiri.
2.8 Pengembangan Sekolah Berbasis Keunggulan Lokal di Setiap Kabupaten/Kota; pertuasan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal oleh pemerintah daerah dilaksanakan dalam rangka melaksanakan amanat UU No. 20/2003 yang secara bertahap akan dikembangkan pada setiap provinsi clan kabupaten/kota. Dalam lima tahun ke depan, diharapkan terdapat sekurang­kurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenis, jenjang, clan jalur pendidikan di setiap kabupaten/kota.
2.9 Pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional; untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP SMA clan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia.
2.10 Mendorong Jumlah Jurusan di PT yang Masuk dalam 100 Besar Asia; melalui investasi yang signifikan pada sumber-sumber daya pendidikan yang utama seperti dosen, laboratorium, penelitian clan pengembangan, publikasi, perpustakaan yang memadai, serta manajemen pelayanan yang efektif dan akuntabel. Sehingga pada tahun 2009 jumlah jurusan yang masuk dalam 100 besar di Asia dapat dicapai.
2.11 Akselerasi Jumlah Program Studi Kejuruan, Vokasi, dan Profesi; investasi dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah menengah kejuruan, dan pendidikan non-formal. Pendidikan kejuruan, advokasi, profesi membutuhkan kualifikasi kompetensi untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga perlu ada penguatan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan kerja, standar kualifikasi kerja, profesionalisme, dan produktifitas kerja yang terus berubah/berkembang dalam memenuhi standar nasional dan internasional.
2.12 Peningkatan Jumlah dan Mutu Publikasi Ilmiah dan HAKI; kegiatan ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi didorong untuk mampu memberikan pemikiran-pemikiran dan temuan-temuan /inovasi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan pembangunan maupun untuk pengembangan pengetahuan.
2.13. Teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan; kegiatan ini berupa pengembangan sistem, metode, dan mated pembelajaran dengan menggunakan ICT. Kegiatan ini juga akan mengembangkan sistem jaringan informasi sekolah, infrastruktur dan SDM untuk mendukung implementasinya, baik untuk kepentingan manajemen pendidikan maupun proses pembelajaran. Dengan menggunakan ICT dalam pendidikan siswa pada sekolah reguler, warga belajar pada pendidikan nonformal dan siswa yang memerlukan layanan pendidikan khusus, secara adil dapat memperoleh pendidikan yang bermutu dan relevan.
Program strategic peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut.





Mendorong Jumlah Jurusan
di PT yg masuk dalam 100
besar Asia
Akselerasi Jumlah Prodi
Kejuruan, Vokasi, dan
Profesi
Peningkatan jumlah dan
mutu publikasi ilmiah, dan
HAKI
Penerapan Telematika
dalam pendidikan

Perbaikan sarana dan I
prasarana
Perluasan Pendidikan
Kecakapan Hidup
Pengembangan sekolah
berbasis keunggulan
lokal di setiap
kabupaten/kota
Pembangunan sekolah
bertaraf internasional di
setiap provinsi dan/atau
kabupaten/kota

Penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu Pada SNP
Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi
Implementasi dan penyempurnaan SNP oleh BSNP

MUTU DAN RELEVANSI PENDIDIKAN
Pengembangan guru sebagai profesi
Pengembangan kompetensi pendidik dan tenga pendidikan

Grafik 3.2. Kebijakan Strategis Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing



3. Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Kebijakan strategic dalam rangka peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut:
3.1 Peningkatan Sistem Pengendalian Internal (SPI) berkoordinasi dengan BPKP dan BPK; untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang bersih efektif, efisien, produktif dan akuntabel. Sistem pengendalian internal sangat penting dikembangkan guna mendeteksi penyimpangan secara dini dan menumbuhkan tanggungjawab melalui proses evaluasi diri. Sistem ini tidak hanya dikembangkan dalam pengelolaan pendidikan ditingkat pusat, tetapi hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaanya maka masing­masing satuan kerja baik di pusat dan daerah memanfaatkan dana yang bersumber dari anggaran non-diskresi paling tidak 0,5 persen dari seluruh anggaran masing-masing satuan kerja.
3.2 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Aparat Inspektorat Jenderal; Pada tahapan ini, menetapkan program pengembangan aparat pengawas, menjadi fokus utama disamping pengembangan sistem pengawasan Inspektorat Jenderal Depdiknas. Standar kompetensi auditor telah disusun dan direncanakan digunakan standar untuk mengukur kompetensi auditor dan mendisain pengembangan kompetensi melalui pendidikan formal atau non­formal. Pengembangan sistem pengawasan dilakukan melalui pengembangan teknik pengewaasan dan pendekatan pengawasan. Audit kinerja sebagai suatu teknik pengawasan dan kemitraan sebagai suatu pendekatan audit yang dikembangkan meningkatkan kapasitas pengawasan yang lebih baik. Pada saat ini audit kinerja dilaksanakan pada pengawasan perguruan tinggi.
3.3 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Aparat Perencanaan dan Penganggaran; kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar berbasis kinerja, melalui: (a) perbaikan kapasitas untuk merancang dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program-program Renstra Diknas 2005­2009, (b) pengembangan strategi manajemen kurikulum, bahan ajar dan manajemen pembelajaran untuk identifikasi, advokasi, dan penyebarluasan praktek-praktek terbaik (best practices) dalam pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota dan/atau satuan pendidikan, dan (c) mengembangkan sistem kerjasama untuk perencanaan, pengelolaan, monitoring kinerja sistem pendidikan secara menyeluruh. Program pengembangan kapasitas pusat/provinsi bertujuan untuk memberikan bantuan teknis, monitoring kinerja, dan manajemen strategis kepada kabupaten/kota dan satuan pendidikan.
3.4 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Managerial Aparat; untuk meningktkan akuntabilitas pengelolaan pendidikan perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan kapasitas para pengelola pendidikan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengembangan kapasitas pengelola pendidikan pada tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan pengelola pelayanan pada tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kapasitas pengelola dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pengelola dalam pelayanan pendidikan yang efektif, inovatif, efisien, dan akuntabel.
3.5 Peningkatan Ketaatan pada Peraturan Peru ndang-undangan; beberapa kegiatan untuk mendorong dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan kedisiplinan, kinerja, dan akuntabilitas seluruh aparat pengelola pendidikan, melalui: peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.
3.6 Penataan Regulasi Pengelolaan Pendidikan; Menjawab berbagai permasalahan dan tantangan masa depan pendidikan, instrumen peraturan perundang-undangan, kebijakan, pedoman, standar, dan aturan pelaksanaan teknis . lainnya menjadi prioritas yang tidak kalah penting untuk terus disempurnakan dan dikembangkan.
3.7 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Pengelola Pendidikan; pada era desentralisasi pendidikan ada gejala penurunan kualitas dan kompetensi pengelola pendidikan, baik yang berada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Untuk ini, berbagai bentuk dan model pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut akan dikembangkan.
3.8 Pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan KKN; Sebagai wujud pelaksanaan Inpres No. 5, maka Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun Tim Rencana Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan Surat Mendiknas No. 027/P/2005. Rencana aksi ini dilakukan dengan melibatkan secara aktif unit utama Departemen untuk secara dini merencanakan aktifitas kegiatan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan rencana aksi yang telah ditetapkan tersebut.
3.9 Intensifikasi Tindakan-Tindakan Preventif Oleh Inspektorat Jenderal; kegiatan ini dilakukan melalui pengawasan dini, yaitu pengawasan oleh Inspektorat Jenderal untuk memeriksa program dan kegiatan yang akan berjalan dari unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, yang bertujuan untuk mendeteksi program yang telah disusun dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku.
3.10 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pemeriksaan oleh ITJEN, BPKP, dan BPK; Kegiatan intensifikasi pengawasan dilakukan dengan meninggatkan konsep pengawasan internal tradisional, dimana akuntansi dipandang sebagai perhatian utama pengawasan internal menuju konsep pengawasan modern dimana pengawasan merupakan bagian dari manajemen yang menuntut peran yang lebih daripada sebagai kontrol tetapi juga sebagai supervisor. Penggunaan dan pengembangan teknik pengawasan juga menjadi prioritas dalam program pengawasan Inpektorat Jenderal. Pengawasan kinerja menjadi tekanan pengawasan sesuai dengan basis pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan kinerja. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui peningkatan jumlah aparat pengawasan (auditor pendidikan) dan lama hari pengawasan. Pada tahun anggaran 2005 telah ditakukan pengangkatan auditor pendidikan baru sebanyak 43 orang dan peningkatan jumlah hari pengawasan dalam satu periode pengawasan dari 15 hari menjadi 20 hari.
3.11 Penyelesaian Tindak Lanjut Temuan-temuan Pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK; pengawasan tidak akan ada maknanya apabila pemeriksaan tidak ditindaktanjuti. Untuk itu diperlukan pemantauan terhadap tindak tanjut yang tetah ditakukan oleh obyek pemeriksaan, untuk mengetahui apakah tindak lanjut yang dilaksanakan telah sesuai dengan rekomendasi pemeriksa. Selanjutnya ditentukan pencapaian jumlah dan kualitas atas tindak lanjut/penyelesaian temuan tersebut.
Peningkatan SPI berkordinasi dgn BPKP dan BPK

GOVERNANCE
DAN
AKUNTABILITAS 1011
3.
v
.s
Penataan Regulasi
Pengelolaan
Pendidikan .1
.6
3.11



Peningkatan kapasitas
dan kompetensi aparat
dalam perencanaan
dan penganggaran

Peningkatan
kapasitas dan
kompetensi
managerial aparat

Peningkatan ketaatan
aparat pada
peraturan perundang -
undangan
Peningkatan
kapasitas dan
kompetensi Pengelola
Pendidikan

Peningkatan kapasitas
dan kompetensi
pemeriksaan aparat itjen
Pelaksanaan Inpres
No. 5 Tahun 2004
tentang Percepatan
Pemberantasan KKN

Intensifikasi tindakan -
tindakan preventif oleh
itjen
Intensifikasi dan
ekstensifikasi
pemeriksaan oleh itjen ,
BPKP, dan BPK
Penyelesaian tindak
lanjut temuan -temuan
pemeriksaan ITJEN,
BPKP, dan BPK.

Grafik 3.3 Kebiiakan Strateeis dalam Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik




BAB IV
PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN JANGKA MENENGAH

Bab ini menguraikan program pembangunan pendidikan yang mengacu pada 15 program pembangunan pendidikan jangka menengah 2005-2009 dalam dokumen RPJM. Dari 15 program tersebut, terdapat 8 program utama, yaitu: Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, Program Pendidikan Menengah, Program Pendidikan Tinggi, Program Pendidikan Non-Formal (PNF), Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Program Manajemen Pelayanan Pendidikan, dan Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. Ketujuh program lainnya dikelompokan-- ke dalam Program Lainnya, yaitu: Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara, Program Penelitian dan Pengembangan Iptek, Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan, Program Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak, Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, Program Peningkatan Sarana Prasarana Aparatur, dan Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan.
A. Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Program ini bertujuan agar semua anak usia dini (usia 0-6 tahun), baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, sesuai tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka. PAUD juga merupakan pendidikan persiapan untuk mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. Secara lebih spesifik, program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan pendidikan melalui jalur formal seperti Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, serta jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA) /bentuk lain yang sederajat, dan jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Pemerataan dan perluasan akses akan diupayakan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta, dimana pemerintah lebih berkonsentrasi pada pendidikan formal TK/RA dan mendorong swasta melakukan perluasan PAUD non-formal (KB, TPA). Perluasan oleh pemerintah antara lain juga dilakukan dengan mendirikan model-model atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang disesuaikan dengan kondisi daerah/wilayah. Pada tahun 2009, pemerintah mentargetkan APK pendidikan TK mencapai 28.22% atau sekitar 2,3 juta orang, dan APK PAUD Nonformal (usia 2-4 tahun) 35% atau sekitar 4,2 juta orang. Perluasan akses PAUD akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Penyediaon sarana prasarana PAUD oleh pemerintahdilaksanakan dengan pembangunan USB TK, dan mengembangkan model atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang sesuai dengan kondisi lokal. Target yang akan dicapai pada tahun 2009 sekurang- kurangnya 1 (satu) TK, termasuk TK Pembina dan lembaga PAUD non-formal sekurang- kurangnya di setiap kecamatan.
Penyediaan biaya operasional pendidikan diberikan dalam bentuk subsidi kepada penyelenggara PAUD baik negeri maupun swasta, terutama pada lembaga yang peserta-didiknya sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Target yang ingin dicapai pada tahun 2009 adalah lebih dari 50% lembaga PAUD yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dibiayai oleh pemerintah.
Mendorong peran serta masyarakat dilakukan untuk menumbuhkan minat masyarakat (demand side) dalam menyelenggarakan lembaga PAUD, termasuk bekerjasama dengan berbagai organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi lain serta PT melalui subsidi imbal swadaya, kemudahan perizinan, dan bantuan fasilitas.
Pengembangan "TK-SD Satu Atop"; bagi SD yang memiliki fasilitas mencukupi didorong untuk membuka lembaga PAUD yang terintegrasi dengan SD (TK-SD Satu Atap) melalui subsidi pembiayaan secara kompetitif.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Peningkakan mutu, relevansi, dan daya saing PAUD akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Pengembangan menu generik pembelajaran don penilaian; merupakan kegiatan yang menyangkut pengembangan kurikulum, khususnya mated bahan ajar, model-model pembelajaran, dan penilaian. Pengembangan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak didik, perkembangan ilmu pengetahuan, budaya dan seni, peningkatan kualitas dan kreativitas peserta didik dan pendidik PAUD. Termasuk dalam kegiatan ini ialah pengembangan proses pembelajaran melalui pengadaan alat belajar, alat bermain, dan alat pendidikan, serta penyelenggaraan akreditasi TK. Muatan pendidikan pada anak-anak usia dini ditekankan pada aspek-aspek emosi, mental, dan spiritual, yang diarahkan pada penghayatan atas nilai-nilai dan karakter positif, serta kesiapan masuk sekolah.
Pengembangan program PAUD model; sebagai rujukan bagi pengembangan PAUD yang diselenggarakan oleh swasta yang kualitasnya masih di bawah standar. Target pada tahun 2009 sekurang- kurangnya satu program PAUD Model setiap kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas institusi dan sumberdaya penyelenggara dan satuan PAUD; kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan manajemen secara efektif dan efisien, sehingga mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal.
Pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan PAUD; pemerintah mentargetkan sekitar 59 ribu orang telah terlatih sebagai tenaga pengelola dan pendidik PAUD, dan sebanyak lebih dari enam ribu Guru, Kepala TK, dan Pembina akan mendapat pendidikan dan pelatihan sampai dengan tahun 2009. Di samping itu, diberikan subsidi bagi tenaga kependidikan PAUD non-formal satu orang di setiap lembaga perintisan.
3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Peningkatan governance, akuntabilitas dan pencitraan publik di bidang PAUD diarahkan pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja PAUD dapat mengambil peran makin nyata dan efektif. Untuk itu akan ditakukan peningkatan advokasi, sosiatisasi /pemasyarakatan dan pembudayaan pentingnya PAUD kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah daerah. Penyediaan data dan sistem informasi PAUD, serta peningkatan kerjasama stakeholder pendidikan, merupakan factor pendukung untuk membangun kesamaan persepsi, pencitraan yang positif, dan kebersamaan tanggung jawab dalam pengelolaan PAUD yang akuntabel
B. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun non-formal yang mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) serta Pendidikan Non-Formal kesetaraan Sekolah Dasar atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)/SMP Terbuka, dan Pendidikan Non-Formal kesetaraan SMP, atau bentuk lain yang sederajat, sehingga seluruh anak usia 7-15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dan anak-anak yang memerlukan perhatian khusus dalam memperoleh pendidikan, dapat memperoleh pendidikan setidak-tidaknya sampai sekolah menengah pertama atau sederajat.
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Program pemerataan dan perluasan akses akan dilakukan dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah, dan lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan. Berbagai kegiatan berikut akan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan program pemerataan dan perluasan.
Pemberian bantuan biaya operasional; bantuan biaya operasional pendidikan diberikan dalam rangka membantu sekolah mencapai proses pembelajaran secara optimal. Bantuan pembiayaan tidak membedakan sekolah negeri maupun swasta, madrasah maupun sekolah umum. Target pada tahun 2009 setiap siswa pada satuan pendidikan dasar memperoleh bantuan biaya operasional.
Rehabilitasi ruang kelas yang rusak; merupakan upaya melaksanakan penyediaan sarana penunjang pendidikan yang layak untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Target rehabilitasi pada tahun 2007 mencapai sekitar 200 ribu ruang kelas yang rusak berat dan 300 ribu ruang kelas yang rusak ringan pada SD; sekitar 9500 ruang kelas yang rusak berat dan lebih dari 23 ribu ruang kelas rusak ringan pada SMP; lebih dari 1.500 ruang kelas rusak berat dan hampir 4500 ruang kelas rusak ringan pada SMA; hampir 3000 kelas rusak berat dan sekitar 4800 ruang kelas rusak ringan pada SMK.
Unit Sekolah Baru dan RKB; penyediaan prasarana pendidikan termasuk pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang Was baru (RKB) juga diupayakan dalam rangka pemerataan dan perluasan di tingkat SMP untuk menampung peningkatan jumlah lulusan SD. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan di tingkat SD, juga dilakukan dengan memanfaatkan layanan pendidikan yang sudah ada.
Perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap; merupakan langkah untuk mendirikan SD-SMP Satu Atap atau SMP Khusus, yaitu penambahan tingkat kelas (extended classes) untuk penyelenggaraan pendidikan menengah pertama pada setiap SD negeri yang ada di daerah terpencil, serta berpenduduk jarang atau terpencar. Untuk itu akan dilakukan pemetaan sekolah agar program pendidikan dasar satu atap dan SMP Terbuka dapat lebih optimal. Pada pendidikan luar biasa (PLB), upaya pemerataan dan perluasan akses dilakukan dengan pengembangan sekolah terpadu (SMP dan SMPLB) melalui pendidikan inklusif.
Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di Sekolah Dasar (KLK); merupakan layanan pendidikan bagi anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat. Layanan pendidikan dilaksanakan selama kurang satu tahun di luar kelas reguler pada sekolah dasar yang ada sebagai transisi untuk memasuki kelas reguler. Target pada tahun 2009 ialah setiap penduduk usia sekolah dasar memperoleh layanan pendidikan dasar.
Upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan pada tingkat SD dilaksanakan untuk mencapai target meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun dari 99,12% (2005) menjadi 99,57% pada tahun 2009. APM SD/MI diusahakan akan meningkat dari 93,53% (2005) menjadi 93,87% pada tahun 2009.
Pada tingkat SMP, target yang akan dicapai yaitu meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun dari 83,32% (2005) menjadi 96,64% pada tahun 2009. APK SMP/MTs/SMPLB dan Paket B diusahakan meningkat dari 82,89% (2005) menjadi 98,09% atau 12,20 juta orang pada tahun 2009. APM SMP-MTs tahun 2005 sebesar 63,67% diusahakan meningkat menjadi 75,46% pada tahun 2009 sehingga dalam kurun waktu lima tahun akan terjadi kenaikan sebesar 14,79%. Sementara itu, pada PLB target sasaran yang akan dicapai yaitu meningkatnya APK-PLB dari 3,49% tahun 2005 menjadi 4,50% pada tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dasar akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, don sistem penilaian. Model kurikulum yang dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik, karakteristik daerah, serta akar sosialkultural komunitas setempat, perkembangan iptek, dinamika perkembangan global, lapangan kerja, lingkungan budaya dan seni, dan lain lain. Pada jenjang pendidikan dasar, muatan kecakapan dasar (basic learning contents) perlu ditekankan, mencakup kecakapan berkomunikasi (membaca, menulis, mendengarkan, menyampaikan pendapat), kecakapan intrapersonal (pemahaman diri, penguasaan diri, evaluasi diri, tanggung jawab, dsb), kecakapan interpersonal (bersosialisasi, bekerjasama, mempengaruhi /mengarahkan orang lain, bernegosiasi, dan sebagainya), kemampuan mengambil keputusan (memahami masalah, merencanakan, analisis, menyelesaikan masalah, dan sebagainya).
Kapasitas profesi pendidik juga akan dikembangkan agar mereka mampu membawakan proses pembelajaran efektif, sesuai dengan standar kompetensi pendidik yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran efektif diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menyenangkan, dan mengasyikan untuk mendorong peserta didik berpartisipasi aktif, berinisiatif, kreatif, dan mandiri, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik dan kematangan psikologis.
Perbaikan sarana dan bahan belajar seperti perpustakaan, media pembelajaran, laboratorium Bahasa/IPA/Matematika, alat peraga pendidikan, buku pelajaran, buku bacaan lain yang relevan. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran. Hingga tahun 2009, langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: (a) merancang sistern jaringan yang mencakup jaringan internet, yang menghubungkan sekolah-sekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan intranet sebagai sarana dan media komunikasi, dan infromasi intern sekolah; (b) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, konten-konten pembelajaran; (c) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis web, multimedia interaktif, yang terdiri dari aplikasi tutorial dan learning tool; (d) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai mated pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan (e) implementasi sistem secara bertahap untuk mencapai secara signifikan jumlah sekolah SMP yang akan memudahkan pemfaatan untuk manajemen pendidikan dan sekaligus juga pemanfaatan ICT untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2009.
Untuk mempersiapkan lulusan SMP/MTs yang tidak dapat melanjutkan, pendidikan kecakapan hidup (keterampilan praktis) akan diberikan agar mereka dapat bekerja dan melakukan kegiatan produktif di masyarakat. Karena keterbatasan dana pemerintah, program wajib belajar belum dapat diteruskan hingga pendidikan menengah sehingga ancaman lulusan SMP/MTs yang tidak dapat melanjutkan harus diantisipasi.
Pengembangan sekolah berkeunggulan pada pendidikan dasar menargetkan paling tidak satu SD dan satu SMP pada masing-masing kabupaten/kola akan menjadi sekolah berkeunggulan lokal pada tahun 2009, dan target yang sama untuk sekolah bertaraf internasional. Sementara itu, dalam kaitan dengan pengembangan kecakapan berbahasa pada jenjang SMP, dilakukan upaya pengembangan program bilingual dengan sasaran sebanyak 430 buah sekolah hingga tahun 2009.
3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Pengembangan kapasitas Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS), serta Komite PLS merupakan kegiatan yang akan terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggungjawab mengelola pendidikan dasar. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsip good governance dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Pengembangan kapasitas juga akan terus dilakukan terhadap para pengurus sekolah atau satuan pendidikan non-formal lainnya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan leadership menuju otonomi pengelolaan. Kegiatan ini, bersama dengan penguatan DP/KS/Komite PLS, merupakan bagian dari upaya penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Manajemen Berbasis Masyarakat (MBM) secara maksimal.
Pengembangan EMIS (Education Management Information Systems) sebagai sistem pendukung manajemen akan dilakukan untuk menunjang keberhasilan upaya mengukur sejumlah indikator penting perluasan, mutu, dan efisiensi sesuai dengan standar nasional pendidikan dasar. Termasuk dalam kemampuan EMIS ialah menggunakan indikator-indikator tersebut untuk memetakan SD/SMP atau satuan pendidikan lainnya yang masuk dalam kategori sekolah di atas SNP, sesuai dengan SNP, dan di bawah SNP pada masing-masing daerah dan wilayah. Selain itu, EMIS bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas data dan informasi pendidikan. Kondisi in sangat kondusif untuk pelaksanaan fungsi komunikasi publik dalam rangka meengembangkan pencitraan yang positip.
C. Program Pendidikan Menengah
Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan menengah yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk, laki-laki dan perempuan, melalui pendidikan formal: Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Program pendidikan menengah didorong untuk mengantisipasi meningkatkaa lulusan Sekolah menengah pertama sebagai dampak positif pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, serta penguatan pendidikan vokasional baik melalui Sekolah/madrasah umum maupun Sekolah/madrasah kejuruan dan pendidikan non-formal guna mempersiapkan lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi untuk masuk ke dunia kerja.


1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Berbagai kegiatan berikut akan dilakukan dalam rangka melaksanakan program pemerataan dan perluasan akses pendidikan menengah.
Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melalui pembangunan unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan sarana belajar. Perluasan. USB SMA akan lebih diarahkan untuk lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta dengan tetap memperhatikan standar nasional pendidikan.
Sejalan dengan itu, penyediaan pendidik dan tenaga kependidikon yang lebih merata, bermutu, serta penyediaan biaya operasional pendidikan dan beasiswa kepada anak yang kurang beruntung tetapi berprestasi, juga akan dilakukan untuk mendukung perluasan.
Untuk daerah-daerah yang mampu mencapai APM SMP di atas 95% dan bermutu, pemerintah mendorong daerah-daerah tersebut untuk proaktif metakukan inisiasi program dan fasilitasi pendidikan universal 12 tahun, dalam rangka memperluas partisipasi pendidikan menengah. Target pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu kabupaten/kota setiap provinsi metakukan perintisan pendidikan universal 12 tahun.
Pengembangan model layanan alternatif pendidikan akan dilakukan khusus untuk daerah-daerah terpencil, daerah pedalaman, dan daerah tertinggal, sebagai fasilitas untuk menampung lulusan SMP di daerah tersebut. Perluasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang ditaksanakan dengan menggunakan berbagai bentuk SMK, yaitu SMK Besar di kawasan Industri, SMK kelas jauh di Pesantren/institusi lain, SMK di daerah perbatasan, SMK kecil di daerah terpencil dan pedesaan, SMA Terbuka, Sekolah Menengah Terpadu.
Target Angka Partisipasi Sekolah (APS) diusahakan akan mencapai 69,91% atau sebesar 7,5 juta orang pada tahun 2009, naik dari 56,04% pada tahun 2005. APK SMA-MA sebesar 54,32% (tahun 2005) akan ditingkatkan menjadi 69,34% pada tahun 2009, termasuk peningkatan APK SMLB.
Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan juga diusahakan akan dapat menurunkan angka putus sekolah, menurunnya rata-rata penyelesaian pendidikan dengan menurunkan angka mengulang kelas, menurunkan angka putus sekolah, serta meningkatnya proporsi siswa SMA/SMK/MA/MAK dan yang sederajat yang lulus ujian nasional.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja menengah di sektor manufaktur, industri pengolahan, konstruksi, pertambangan, perdagangan, jasa kemasyarakatan, pariwisata, ICT, pertanian, serta teknologi dan seni (konservatori budaya), pemerintah akan meningkatkan jumtah peserta didik SMK, yang diproyeksikan akan meningkat secara signifikan sampai dengan tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan menengah akan ditaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, bagan ajar, model pembelajaran, dan sistem evaluasil penilaian menuju standar nasional dan Internasional. Semua bagian dari sistem dan muatan pembelajaran dikembangkan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna dan efektif. Pada jenjang pendidikan menengah, penekanan muatan kecakapan dasar (basic learning contents) mendapat porsi yang menurun sementara muatan akademik dan life skills (keterampilan) meningkat.
Untuk mendorong siswa-siswa berprestasi, pemerintah juga akan melaksanakan program pembinaan dan fasilitasi untuk mempersiapkan anak­anak yang berprestasi istimewa mengikuti kompetisi-kompetisi nasional /internasional seperti olimpiade sains dan matematika untuk siswa SMA, sedangkan bagi siswa SMK berprestasi mengikuti Promosi Keterampilan Siswa (PKS) tingkat nasional, Asian Skill Competition (ASC) tingkat regional dan World Skill Competition (WSC) tingkat internasional.
Terkait dengan peningkatan mutu juga perlunya perbaikan kondisi ruang belajar yang rusak ringan (SMA sekitar 4400; SMK sekitar 4800) dan rusak berat (SMA sekitar 1600; SMK sekitar 3000) [PDIP-Balitbang, 2003].
Pemerintah juga akan melakukan peningkotan jumlah SMK secara proporsional termasuk upaya penataan bidang keahlion don program studi di SMK serta fasilitas magang agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Penataan ini dilakukan agar lutusan sekolah menengah kejuruan dapat makin memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Pengembangan mutu dan keunggulan Sekolah Menengah juga diarahkan untuk mendorong sekolah potensial menuju katagori di atas standar nasional pendidikan (SNP). Sekolah-sekolah seperti ini akan terus dikembangkan menjadi sekolah berkeunggutan nasional dan internasional. Pengembangan sekolah berkeunggutan pada pendidikan menengah mentargetkan paling tidak satu SMA/SMK pada masing-masing kabupaten/kota akan menjadi sekolah berkeunggutan lokal dan internasional pada tahun 2009. Pemerintah pusat akan bekerja sama dengan daerah untuk pengembangan keunggulan lokal, dan dengan luar negeri dalam pengembangan kurikulum dan standar kompetensi untuk mengembangkan kompetensi lutusan agar dapat bersaing secara global. Salah satu orientasi pencapaian standar internasional adalah bagaimana sekolah dapat didorong untuk memperoleh sertifikat ISO.
Untuk mengantisipasi banyaknya lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan ke pendidikan tinggi, pendidikan life skills (kecakapan hidup) akan diberikan pada siswa SMA. Untuk peserta yang berasal dari keluarga miskin tetapi berpotensi, Pemerintah akan memberikan subsidi beasiswa.
Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah kejuruan dilakukan dengan mengembangkan program studi/jurusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, antara lain: teknologi pengolahan dan pengemasan makanan, teknologi otomotif modern, telematika, hotel dan restoran, bidang kelautan, seni etnik dan kerajinan, . industri manufaktur, serta teknologi pertanian nilai tinggi. SMK di setiap daerah juga didorong untuk mengembangkan program studi yang berorientasi pada keunggulan lokal, baik pada aspek keterampilan maupun kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan akan diberikan untuk membekali lulusan SMK mampu mengembangkan sendiri lapangan kerja bagi dirinya. Pengembangan kecakapan berwirausaha akan dilakukan seluas-luasnya untuk mendorong tumbuhnya wiraswastawan sebanyak-banyaknya, yang selain menjadi wahana kemandirian berusaha bagi pelaku-pelakunya, juga memberikan dampak makro yang sangat positip bagi pengembangan ekonomi nasional.
Pemanfaatan ICT untuk sistem persekolahan dan pembelajaran akan dikembangkan dengan model yang sama seperti yang dilakukan pada jenjang SMP, termasuk optimalisasi pemanfaatan N edukasi sebagai mated penunjang, dengan target terpenuhinya secara signifikan pemanfaatan ICT pada SMA dan SMK di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2009. Pada tingkat pendidikan menengah, kecakapan memanfaatkan ICT merupakan nitai tambah yang penting dalam membekali calon-calon tenaga kerja terampil tingkat menengah.
3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan
Seperti pada jenjang pendidikan dasar, peningkatan governance, akuntabilitas, dan daya saing dilakukan dalam kerangka sistem dan mekanisme yang sama, dalam isu-isu partisipasi masyarakat, Manajemen Berbasis Sekolah (DP/KS), pengembangan kapasitas, dan pengembangan EMIS (Education Management Information Systems). Pertuasan partisipasi masyarakat akan didorong lebih luas dengan melibatkan dunia usaha dan industri dalam pengelolaan pendidikan kejuruan.
Mengingat pendidikan menengah belum menjadi program wajib belajar, maka partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan akan diupayakan, baik dalam rangka perluasan maupun peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, sangat strategis untuk memberikan citra kelembagaan yang positip, yang selanjutnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengelola. Masyarakat juga diharapkan untuk proaktif dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi anggaran penyelenggaraan pendidikan.
D. Program Pendidikan Tinggi
Program pembangunan pendidikan tinggi (PT) bertujuan : pertama, meningkatkan pemerataan dan perluasan akses bagi semua warga negara melalui program-program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor; kedua, meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), untuk memberikan sumbangan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa; ketiga, meningkatkan kinerja perguruan tinggi dengan jalan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT).
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan tinggi akan dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berikut.
Pemberian bantuan pembiayaan untuk kelompok masyarakat yang miskin tetapi potensial agar dapat belajar di perguruan tinggi, melalui skema (a) program beasiswa (scholarship) dengan target penerima yang bervariasi dari aspek-aspek kernampuan ekonomi, gender, bakat khusus, dsb, (b) program pinjaman dana lunak melalui bunga rendah dan/atau tenggang pembayaran, (c) program voucher yang membebaskan beberapa jenis biaya pendidikan, yang variasinya terus dikembangkan sesuai kebutuhan.
Membangun kemitraan antara LPTK dengan sekolah, untuk memperluas kapasitas dalam menghasilkan guru yang dapat mencukupi kebutuhan jumlah dan mutu, khususnya untuk menunjang keberhasilan program Wajar Dikdas dan program perluasan jalur/jenjang/jenis pendidikan lainnya.
Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada empat perguruan tinggi (PT) hingga tahun 2009, yaitu UI, UNRI, UNDANA, dan UNHAS. Diseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UNM,UNP,UNHALU,UNCEN dan PT­PT lainnya.
Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi mentargetkan pencapaian jumlah mahasiswa sebesar 4,5 juta orang pada tahun 2009. Sementara itu, APK diharapkan dapat ditingkatkan dari 14,26% pada tahun 2004, menjadi 18,00% pada tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Peningkatan pelayanan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penerapan otonomi keilmuan dimaksudkan untuk mendorong perguruan tinggi melaksanakan tugasnya sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kualitas/kuantitas dan diversifikasi bidang penelitian di lingkungan perguruan tinggi.
Pengembangan kurikulum dan pembelajaran efektif dalam kelompok mata kuliah: iman dan takwa serta akhlak mulia, iptek, estetika, serta etika dan kepribadian. Kelompok mata kuliah iman dan takwa dimaksudkan untuk meningkatkan potensi keimanan sehingga dapat memiliki ketakwaan personal dan sosial. Kelompok mata kuliah iptek dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi pemanfaatan iptek dan pengembangannya; kelompok mata kuliah/kegiatan estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitifitas estetis dan humanisme; dan kelompok mata kuliah etika dan kepribadian dimaksudkan untuk mencerahkan kesadaran etika dan kepribadian. Peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, etika dan kepribadian, serta wawasan kebangsaan, diintegrasikan dalam proses pembelajaran semua mata kuliah.
Pengembangan community college akan dilakukan untuk mengenalkan model pendidikan kejuruan/vokasi yang fleksibel menjawab kebutuhan pasar. Community college memfasilitasi eksistensi program kejuruan/vokasi berbasis keunggulan lokal, dengan penyediaan tenaga terampil untuk industri lokal, nasional, multi-nasional, serta pengembangan kewirausahaan.
Target-target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi adalah sebagai berikut.
a. Peningkatan jumlah program studi di perguruan tinggi yang akreditasi A atau B, dari jumlah 1000 program studi pada tahun 2005 menjadi sebanyak 3000 program studi pada tahun 2009. Akan dikembangkan pula program studi /jurusan bertaraf internasional, dengan menargetkan tercapainya 32 program studi /jurusan sampai dengan tahun 2009, dengan memperhatikan kepentingan pengembangan ilmu, pelestarian budaya, serta persaingan keahlian di forum antarbangsa. Selain itu, untuk keperluan peningkatan efisiensi, akan diupayakan agar tidak ada lagi perguruan tinggi yang jumlah mahasiswanya kurang dari 100 orang.
b. Peningkatan efektivitas waktu studi sehingga angka kelulusan tepat waktu mencapai 80% untuk PTN dan 50% untuk PTS.
c. Mengupayakan untuk tercapainya rasio output terhadap jumlah mahasiswa (enrollment) secara keseluruhan menjadi 20% untuk program sarjana dan 30% untuk program diploma.
d. Lama waktu tunggu lulusan dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan untuk bidang-bidang keahlian tertentu diharapkan dapat dipersingkat, yaitu yang tidak lebih dari 6 bulan dapat mencapai 40%.
e. Peningkatan kualitas daya saing di tingkat Asia dengan memunculkan minimal 4 perguruan tinggi yang masuk dalam 100 besar perguruan tinggi di Asia.
f. Peningkatan status perguruan tinggi menjadi 50% yang berbadan hukum pendidikan tinggi negeri pada tahun 2009, dan 40% berbadan hukum pendidikan tinggi swasta.
g. Penataan proporsi bidang ilmu IPA : IPS/Humaniora yang pada tahun 2004 berbanding sebagai (30:70) diupayakan untuk 'pada tahun 2009 menjadi (50:50) di lingkungan PTN dan (35:65) di lingkungan PTS.
h. Peningkatan kualifikasi dosen berpendidikan S2/S3 yang saat ini baru mencapai 54,55% untuk PTN dan 34,50% untuk PTS pada tahun 2004, menjadi 85% untuk PTN dan 55% untuk PTS pada tahun 2009. Disamping itu jumlah guru besar yang baru mencapai 3% pada tahun 2004 diupayakan dapat mencapai 10% dari jumlah dosen yang ada pada PTN pada tahun 2009.
i. Pelatihan tenaga teknis di perguruan tinggi pada jangka waktu 5 tahun ke depan diupayakan mencapai 100 jenis pelatihan fungsional yang menjangkau 7.500 personil pendidikan Tnggi dengan rincian 70% dari PTN dan 30% dari PTS.
j. Pelaksanaan penelitian untuk 5 tahun ke depan diusahakan dapat mencapai 1% dari seluruh anggaran Ditjen Dikti, dan menghasilkan berbagai hak atas kekayaan intelektual, termasuk permohonan patent mencapai 50 buah dan hak cipta mencapai 200 judul, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta mendorong penelitian untuk penyelesaian masalah-masalah sosial.
k. ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan menggunakan radio, televisi, komputer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen.
l. Pembangunan dan penambahan infrastruktur pendidikan Tnggi sehingga tercapai pemenuhan kriteria rasio ruang kuliah 2m2 per mahasiswa, rasio ruang laboratium 9 m2 per mahasiswa, dan ruang dosen 9 m2 per dosen.
m. Peningkatan kapasitas dan efektivitas layanan perpustakaan kepada citivas akademika kampus melalui peningkatan penyediaan bahan bacaan wajib mata kuliah mencapai 80 % dari mata kuliah yang ditawarkan perguruan Tnggi dan layanan kepustakaan sekurang- kurangnya mencapai 40 jam per minggu.
3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Program peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik akan dilaksanakan melalui penyusunan perangkat hukum operasional dalam pengembangan perguruan Tnggi untuk mencapai status Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT), sebagai perguruan Tnggi otonom dan akuntabel, dan bersifat nirlaba. Ditargetkan sebanyak 50% PTN dan 40% PTS akan berstatus BHP pada tahun 2009. Dalam rangka peningkatan akuntabilitas publik, penyelenggaraan pendidikan Tnggi perlu mengembangkan vitalisasi internal audit. Salah satu manfaat yang akan diperoleh dengan model BHP adalah terbangunnya kelembagaan yang lebih kondusif untuk menciptakan keterbukaan pengelolaan, sehingga menjadi lebih transparan dan akuntabel. Kondisi ini akan mengembangkan pencitraan yang positip di mata masyarakat, dalam rangka mendorong peningkatan partisipasi melalui pembiayaan, kontrol, dan pengelolaan.
Peningkatan kapasitas satuan perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti Program Hibah Kompetisi, Program Kemitraan, Hibah Penelitian, P3AI. Peningkatan kapasitas pengelolaan juga akan ditunjang dengan penerapan ICT, seperti pengembangan sistem informasi pendidikan tinggi.
E. Program Pendidikan Non-Formal
Program ini diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang belum sekolah, tidak pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah dan warga masyarakat lainnya yang kebutuhan pendidikannya tidak dapat terpenuhi melalui jalur pendidikan formal. Dengan demikian, pendidikan non-formal bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan kepada semua warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan vokasional, serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, sehingga pendidikan non­formal dapat pula berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Di masa mendatang program pendidikan non-formal dapat menjadi pendidikan alternatif yang dapat memenuhi standar nasional maupun internasional.
Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, berbagai program pendidikan non-formal (PNF) yang dikembangkan terdiri dari; (1) Pendidikan Kesetaraan yang diarahkan pada anak usia Wajar Dikdas 9 tahun untuk mendukung suksesnya Wajar Dikdas beserta tindaklanjutnya (setara SMU), (2) Pendidikan Keaksaraan yang diarahkan pada pendidikan keaksaraan fungsional serta penurunan penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas secara signifikan pada akhir tahun 2009, (3) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), agar peserta didik dapat berkembang sesuai dengan tingkat usianya dan berdampak pada kesiapan anak usia sekolah masuk sekolah, (4) Peningkatan Pembinaan Kursus dan Pelatihan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat di berbagai bidang keterampilan yang dibutuhkan, (5) Pendidikan Kecakapan Hidup, yang dapat diintegrasikan dalam berbagai program pendidikan non-formal sebagai upaya agar peserta didik mampu hidup mandiri, (6) Pendidikan Pemberdayaan Perempuan yang diarahkan pada peningkatan kecakapan hidup dan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan, (7) Peningkatan Budaya Baca Masyarakat sebagai upaya untuk memelihara dan meningkakan kemampuan keaksaraan peserta didik yang telah bebas buta aksara melalui penyediaan Taman Bacaan Masyarakat, dan (8) Memperkuat Unit Petaksana Teknis Pusat dan Daerah (BP-PLSP, BPKB, dan SKB) sebagai tempat pengembangan model program PNF. Di samping hat-hat di atas, PNF juga akan metaksanakan berbagai komitmen dunia seperti Pendidikan Untuk Semua, pengarusutamaan gender, perawatan dan pendidikan pada anak-anak yang tergolong tidak beruntung.
1. Pemerataan dan Perluasan Akses
Berbagai langkah kegiatan untuk memperluas akses pendidikan non­formal adalah: (a) peningkatan sosialisasi dan promosi melalui berbagai media mengenai pentingnya PNF dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat dari usia dini hingga usia lanjut, yang disertai menu-menu program yang dapat menggugah, menarik, dan membangkitkan semangat untuk belajar dan/atau berperan dalam penyetenggaraan PNF; (b) mendorong dan memberdayakan masyarakat melalui berbagai Organisasi Sosial Masyarakat (Orsosmas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berorientasi pada kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya serta kelompok masyarakat terdidik, untuk dapat berperan dalam penyetenggaraan PNF; (c) memberikan bantuan pembiayaan sampai pada Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya PNF bagi Pemda Kabupaten/Kota, sehingga terdorong untuk menyediakan anggaran PNF yang memadai metalui APBD; (d) mendorong terbentuknya berbagai organisasi profesi PNF di berbagai tingkatan yang dapat berperan sebagai mitra dalam pengembangan PNF; (e) memperluas kerjasama dengan instansi terkait dalam penyetenggaraan PNF; (f) penyediaan, pemberian dan penyaluran blockgrants yang ditaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan berbagai program PNF; dan (g) menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga luar negeri yang terkait dengan pengembangan program PNF.
Pengembangan pendidikan kesetaraan, yang diarahkan pada anak usia Wajar Dikdas 9 tahun melalui Paket A setara SD, dan Paket B setara SMP, serta pengembangan pendidikan menengah melatui Paket C setara SMA. Pengembangan paket kesetaraan ditakukan melalui pembukaan kelompok­kelompok belajar pada sasaran yang terfokus, yaitu pada daerah yang APK-nya sangat rendah. Hingga tahun 2009, target Paket A untuk siswa putus SD kelas 4 sampai dengan 6 sebanyak lebih kurang 860 ribu anak (25% dari DO SD), dan target Paket B setara SMP akan menjangkau sekitar 3,2 juta anak (50% dari lulus SD tidak melanjutkan dan 50% kelas 1 dan 2 SMP), dan target penyelenggaraan program Paket C setara SMA sebanyak lebih kurang 200 ribu orang.
Penurunan angka buts oksara dan Pengembangan keaksaraan fungsional; merupakan kegiatan untuk meningkatkan intensifikasi akses perluasan dan kualitas pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara tanpa diskriminasi gender baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan prioritas pada daerah yang menjadi kantong-kantong buta aksara. Target pada tahun 2009 adalah menurunnya prosentase penduduk buta aksara dari 10,21% (Susenas, BPS 2003) menjadi 5% pada akhir tahun 2009, atau secara kuantitas target yang akan dijangkau sekitar 7,5 juta orang (usia 15 tahun ke atas). Dalam rangka penurunan buta aksara, dilakukan berbagai program, antara lain: pengembangan kerjasama dengan lembaga/ organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, PT, dan organisasi lain yang dapat menjangkau masyarakat.
Penyediaan sarana don prasarana pendidikan, dengan sasaran tersedianya sarana, prasarana, pendidik dan pelatihan tenaga kependidikan PNF yang bermutu secara memadai, serta tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan non-formal melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan perintisan Pusat Sumber Belajar (PSB)
Penyediaan biaya operasional; diberikan untuk peserta didik yang kurang beruntung, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melaksanakan pendidikan informal melalui pembentukan kegiatan belajar secara mandiri dan berkelompok. Pemberian biaya operasional dapat dilakukan melalui kegiatan magang, penyelenggaraan kursus yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, atau dengan beasiswa.
Pengembangan budaya baca; diselenggarakan di berbagai kegiatan pembelajaran, dengan target pelembagaan 2.500 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pada tahun 2009.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Program peningkatan mutu dan relevansi akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut.
Pengembangan kurikulum; mengembangkan bahan ajar dan model-model pembelajaran PNF yang mengacu pada standar nasional pendidikan sesuai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan seni, termasuk model pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan bermata­ pencaharian. Terutama untuk pengembangan mated bahan ajar, pendidikan non-formal akan lebih berwawasan kesetaraan dan keadilan gender. Mulai tahun 2006, ditetapkan 10 jenis dan variasi program PNF berorientasi life skills akan didukung pengembangannya.
Penyediaan materi pendidikan; pengembangan media pembelajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan, buku pelajaran dan buku bacaan serta mated pelajaran yang memanfaatkan ICT ( Seperti radio, televisi, komputer dan internet).
Pengembangan satuan-satuan PNF; meliputi lembaga kursus dan pelatihan, kelompok belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) serta satuan pendidikan yang sejenis melalui standarisasi, penjaminan mutu, akreditasi dan sertifikasi serta penguatan kemampuan manajerial pengelolanya. Dilakukan pula pengembangan format dan kualitas program PNF sehingga bisa diterima sebagai pengganti mata pelajaran yang relevan dengan yang ada di satuan pendidikan formal. Sampai dengan tahun 2009, ditargetkan jumlah peserta pendidikan kecakapan hidup berusia lebih dari 15 tahun mencapai 15% atau 1,5 juta orang.
Pengembangan sertifikasi; menyangkut sertifikasi lembaga kursus dan pelatihan, dan pendidikan keterampitan/kecakapan hidup. Pengembangan sertifikasi dan aspek-aspek mutu lainnya mengacu pada standar profesi dan produktivitas tenaga kerja Indonesia dalam kerangka WTO. Sertifikasi diharapkan memiliki civil effect bagi peningkatan kehidupan dan produktivitas kerja pada peserta didik. Sampai dengan tahun 2009, 20% lembaga dan program PNF ditargetkan telah terstandarisasi.
Pengembangan model unggulan; merupakan kegiatan untuk mengembangkan model-model unggulan dan model kompetitif PNF dalam PAUD, kesetaraan, keaksaraan, dan kecakapan hidup. Sebanyak 25% Kabupaten/Kota ditargetkan sudah memiliki model PNF unggulan pada tahun 2008.
3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Prinsip fundamental dari penyelenggaraan pelayanan pendidikan non­format adalah aktifnya peran atau partisipasi masyarakat dalam kemandirian dan kreativitas yang dinamis untuk membantu mengangkat derajat dan taraf hidup masyarakat yang kurang beruntung. Oleh karenanya, berhasilnya penyelenggaraan PNF yang efektif, efisien dan akuntabel, berada pada tanggung jawab bersama antara masyarakat penyelenggara dan pemerintah daerah setempat. Karena prinsip penyelenggaraan yang partisipatif ini, pencitraan kelembagaan yang transparan clan akuntabel menjadi kebutuhan mutlak yang harus dapat dipenuhi oleh setiap penyelenggara pendidikan non­formal.
Dalam penyelenggaraan PNF yang lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah pusat berperan memberikan fasilitasi dan pengendalian/penjaminan mutu, metalui bantuan pembiayaan clan program­program sosialisasi clan pelatihan. Beberapa langkah pemerintah (Depdiknas) dalam peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan penyelenggaraan PNF adalah sebagai berikut.
Penatoan dan pengembangan sistem pendataon dan informasi manajemen; diperlukan untuk mendukung pengetolaan clan koordinasi PNF baik pada tingkat pusat, daerah, maupun pengelola dan penyelenggara PNF, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas data dan informasi mengenai PNF. Usaha ini memerlukan sinergi tripartit, yaitu: ahli pendidikan, ahli substansi, dan ahli media /informatika.
Pengembangan kapasitas; diberikan kepada pengelola clan penyetenggara PNF di semua tingkatan, baik di pusat maupun daerah (BPPLSP, BPKB, SKB, clan PKBM). Sampai dengan tahun 2009, Ditjen PLS clan 5 (lima) BPPLSP ditargetkan meraih sertifikasi ISO 9001. Advokasi, sosialisasi, don fosilitasi; diperlukan untuk memberikan informasi, kampanye, dan bantuan dalam rangka meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PNF yang efektif dan akuntabel.

F. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Program peningkatan mutu pendidik clan tenaga kependidikan bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah pendidikan clan tenaga kependidikan, meningkatkan kemampuannya, meningkatkan kemampuan melaksanakan administrasi, pengetolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan.
1. Perluasan dan Pemerataan Akses
Peningkatan pemerataan dan rasio pelayanan pendidik dan tenaga kependidikan untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Non-Formal, dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut: (a) pengembangan sistem perencanaan berdasarkan kebutuhan dan persediaan pendidik dan tenaga kependidikan; (b) pengembangan sistem dan mekanisme rekrutmen dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan yang merata secara geografis, tepat jumlah, tepat kualifikasi/keahlian, dan gender; (c) peningkatan jumlah pendidik di wilayah/daerah yang kekurangan, seperti pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, penambahan guru baru, perubahan status pendidik dari satu jenjang ke jenjang lainnya, integrasi guru/tutor mata pelajaran sejenis, sistem insentif guru di daerah terpencil, memberikan subsidi bagi guru tidak tetap (GTT) swasta, pengawas/penilik/ pamong belajar, dan guru daerah terpencil; (d) mendorong perluasan jurusan LPTK pada bidang yang masih kekurangan seperti guru MIPA, Bahasa Inggris dan teknologi kejuruan; (e) mendorong perluasan Program Akta bagi lulusan sarjana non-kependidikan; (f) penambahan jumlah tenaga kependidikan secara proporsional, seperti pengawas sekolah, pegawai tata-usaha, laboran, pustakawan, Pengembang Sumber belajar, arsiparis, operator komputer, dsb, melalui penambahan tenaga baru, penempatan tenaga non-kependidikan menjadi tenaga kependidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.
Pengadaan guru diadakan khusus untuk pemenuhan kekurangan guru dalam rangka pemerataan dan perluasan akses; skenario insentif mungkin diperlukan untuk meningkatkan daya tarik guru-guru bekerja di daerah-daerah yang sulit atau bahkan biaya upgrading guru-guru yang sudah ada (SD/MI) untuk dapat mengajar SMP di sekolah-sekolah layanan khusus “SMP Khusus”.
Sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun ke depan adalah rasio peserta didik per pendidik dan tenaga kependidikan relatif merata pada setiap kabupaten/kota, dan akan diupayakan dapat mencapai standar nasional. Sementara itu, dalam lima tahun mendatang akan dilakukan pengangkatan pengawas yang tepat sasaran sebanyak lebih kurang 1.300 orang pengawas, dan pengangkatan penilik dengan kualifikasi S1 sebanyak lebih kurang 1.600 orang.
Pemerintah juga akan mengangkat guru baru, untuk mengatasi kekurangan guru yang jumlahnya sekitar 300.000, sebagai pengganti guru yang akan pensiun, dan dalam rangka perluasan akses untuk penuntasan wajib belajar 9 tahun, serta perluasan pendidikan menengah umum dan kejuruan.
Mengingat sasaran pendidikan non-formal di desa-desa cukup tinggi, perlu diangkat guru PNF/tutor purna waktu untuk desa-desa terpencil dan/atau desa-desa yang konsentrasi sasaran PNF-nya besar. Untuk mendukung tugas penilik, selain dad pengangkatan guru PNF secara bertahap diperlukan juga tenaga tidak tetap (TLD) dengan rasio 1 TLD per 5 (lima) desa. Selanjutnya untuk meningkatkan jangkauan pelayanan PNF secara bertahap ditingkatkan jumlah pamong belajar sehingga mencapai standar nasional pendidikan.
2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Program peningkatan mutu, relevansi, dan saya saing akan dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan berikut: a) pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi profesi pendidik; b) pengembangan sistem dan mekanisme perekrutan, promosi dan mutasi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai profesi, yang memungkinkan mutasi (intas daerah; c) pengembangan mekanisme promosi pendidik, melalui: pemetaan kompetensi secara periodik, pendidikan berkelanjutan untuk mencapai standar kompetensi yang ditunjukkan oleh hasil uji kompetensi, penghitungan angka kredit sebagai tenaga fungsional; d) pengembangan sistem insentif dan disinsentif profesi guru untuk menunjang mutu pembelajaran; e) pemanfaatan ICT dalam pendidikan untuk peningkatan kompetensi guru dalam pembelajaran (seperti radio, televisi, komputer dan internet); f) pengembangan kapasitas sumberdaya pendidik & tendik pada PPPG, LPMP, BP-PLSP dan BPKB serta SKB; g) pengembangan mekanisme penilaian kinerja, akuntabilitas, dan pe(atihan pendidik; h) pengembangan sistem renumerasi pendidik dan tenaga kependidikan yang sesuai dengan jabatan fungsionalnya; i) penyusunan sistem Ft mekanisme perlindungan dalam menjalankan profesi dan kesejahteraan profesi pendidik dan tenaga kependidikan; j) pemberian penghargaan kepada guru yang berprestasi dan berdedikasi luar biasa; serta k) pemberian disinsentif pada pendidik yang melanggar etika profesi.
Target pada tahun 2009 sebanyak 10% guru PAUD termasuk TK, 10% guru SD, 15%guru SMP, 20% guru SMA/SMK, sudah memenuhi kompetensi guru sebagai tenaga profesi.





3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Usaha meningkatkan governance, akuntabilitas, dan pencitraan dalam pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan adalah: a) pengembangan sistem pendataan clan informasi pengelolaan pendidik clan tenaga kependidikan di pusat clan daerahl yang meliputi pemetaan jumiah clan kualifikasi/kompetensi, usia, pangkat/golongan pendidik menurut satuan pendidikan, mata ajar clan wilayah; b) penyusunan mekanisme pengelo(aan guru, tutor, clan pamong belajar sebagai profesi, seperti sertifikasi, registrasi, clan kode etik keprofesian; c) pengembangan sistem pengelolaan kelembagaan profesi pendidik di pusat, daerah clan masyarakat; d) pembinaan profesi guru yang memiliki kekuatan hukum clan tertuang dalam UU Guru yang segera diundangkan; serta e) penyelesaian secara tuntas masalah guru bantu.
G. Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Program Penelitian clan Pengembangan Pendidikan bertujuan untuk: (1) mengembangkan konsepsi pembaruan sistem pendidikan nasional clan memasyarakatkannya seiring dengan pengembangan clan persaingan di era globalisasi; (2) melakukan penelitian kebijakan pada tingkatan makro clan pengembangannya pada tingkat mikro; (3) meningkatkan kualitas penelitian serta pengembangan inovasi pendidikan agar hasilnya dapat menjadi acuan bagi pengembangan kebijakan clan atau program pembangunan pendidikan; (4) mengembangkan kurikulum yang relevan, konsep pembelajaran yang inovatif, clan penjaminan kualitas yang mendukung daya saing bangsa; (5) meningkatkan keandalan sistem informasi pendidikan di tingkat nasional yang secara efisien clan efektif menjadi landasan perumusan clan kebijakan Depdiknas; (6) mengembangkan sistem penilaian clan pengendalian mutu pendidikan nasional; (7) meningkatkan intensitas clan kualitas kerjasama internasional di bidang pendidikan yang berdasarkan kesetaraan clan mengarah kepada peningkatan kualitas pendidikan nasional; clan (8) mengembangkan standar nasional pendidikan, melaksanakan ujian nasional, clan mengembangkan serta melaksanakan model akreditasi clan sertifikasi.Program penelitian clan pengembangan pendidikan dilaksanakan melalui tiga pilar pembangunan pendidikan nasional sebagai berikut:
1. Perluasan dan Pemerataan Akses
Program strategis penelitian clan pengembangan yang akan dilaksanakan dalam rangka menunjang pemerataan clan perluasan akses pendidikan antara lain adalah: (1) penelitian tentang petaksanan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, pendidikan khusus, clan layanan khusus; (2) pengembangan model inovatif pelayanan pendidikan dalam rangka pelaksanaan Wajib Belajar, pendidikan khusus, dan layanan khusus; (3) pengembangan model pendidikan yang fleksibel, efisien, dan efektif sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan lingkungan; (4) pengembangan model kurikulum dan pembelajaran untuk pendidikan khusus dan layanan khusus; (5) pengembangan sumber belajar efektif yang tersedia di lingkungan; (6) pendayagunaan dan pelayanan data dan informasi, serta profit mutu pendidikan dan pengembangan sistem informasi pendidikan; dan (7) pemanfaatan dan pengembangan ICT untuk sistem pendataan dan pembelajaran.
2. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Program strategis penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan dalam rangka menunjang peningkatan mutu dan relevansi pendidikan antara lain adalah: (1) metaksanakan kajian isu aktual dan strategic pendidikan; (2) meningkatkan kapasitas Pusat dan Daerah dalam penelitian kebijakan bidang pendidikan; (3) mengembangkan jejaring penelitian, kurikulum, penilaian, dan inovasi dengan lembaga penelitian dan institusi lain terkait; (4) mengembangkan pusat informasi hasil penelitian dan pengembangan pendidikan; (5) mengembangkan model-model pembelajaran, layanan pendidikan, pemberdayaan sumber daya pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat; (6) mengembangkan model-model sekolah dan madrasah inovatif; (7) mengembangkan model-model kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk pendidikan dasar, menengah, khusus dan non-formal, kurikulum bertaraf internasional, dan kurikulum berdasarkan keunggulan lokal; (8) melakukan sosialisasi kurikulum baru untuk sekolah perintisan serta provinsi dan kabupaten/kota; (9) melakukan evaluasi berkelanjutan pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dasar, menengah, khusus dan non­formal; (10) melakukan pemberdayaan SDM secara profesional dalam pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dasar, menengah, khusus dan non-formal; (11) melakukan analisis kebijakan kurikulum untuk pendidikan dasar, menengah, khusus, dan non-formal; (12) menyediakan data dan informasi pendidikan di berbagai jenis, jenjang, dan satuan pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (13) mengembangkan sistem pangkalan data dan jaringan pendataan serta informasi di berbagai jenjang, jenis, dan satuan pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (14) mengembangkan sistem informasi yang berbasis teknotogi dan sistem pendataan berbasis masyarakat; (15) metaksanakan proyeksi dan analisis data pendidikan; (16) melakukan pemetaan mutu dan analisis penjaminan mutu berdasarkan ujian nasional dan hasil akreditasi; (17) melakukan penelitian/studi dan evaluasi mutu pendidikan secara nasional maupun internasional; (18) menyelenggarakan ujian nasional yang efisien untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan; (19) memfasilitasi penyusunan menyusun standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan oleh BSNP; dan (20) mengembangkan dan melaksanakan akreditasi dan sertifikasi; dan (21) penelitian pendayagunaan ICT untuk pendidikan.
3. Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Program strategis penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan dalam rangka menunjang peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan pendidikan antara lain adalah: (1) menyempurnakan mekanisme tata kerja antar lembaga di bidang penelitian dan pengembangan; (2) meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM bidang penelitian dan pengembangan; (3) meningkatkan kerjasama antar lembaga penelitian dan pengembangan pada tingkat nasional, regional dan internasional; (4) meningkatkan kualitas, efisiensi dan efektivitas manajemen secara akuntabel dalam rangka mengembangkan kualitas pelayanan pendidikan;_(5) melakukan pembaharuan sistem dan regulasi pendidikan; (6) meningkatkan relevansi program-program unggulan dengan tuntutan kebutuhan pelayanan pendidikan pada tingkat nasional, regional dan internasional; (7) mengelola hasil­hasil penelitian dan pengembangan sebagai basis data dan informasi untuk acuan pembayaan kebijakan pendidikan nasional; (8) mengembangkan sistem kinerja pelaksanaan kurikulum untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan; (9) meningkatkan kualitas data dan informasi berbasis sistem teknologi informasi secara nasional dalam pelayanan penelitian dan pengembangan pendidikan nasional secara akuntabel, efektif, dan efisien; (10) melaksanakan national assessment pendidikan dasar dan menengah secara berkala dalam rangka akuntabilitas pelaksanaan program pendidikan; dan (11) meningkatkan kerjasama dan keterkaitan sinergis secara berkelanjutan dengan lembaga di tingkat nasional, regional dan internasional dalam mewujudkan kualitas, efisiensi dan efektivitas manajemen.
H. Program Manajemen Pelayanan Pendidikan
Program ini bertujuan: (1) meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga di pusat dan daerah, mengembangkan mekanisme good governance, meningkatkan koordinasi antar-tingkat pemerintahan, mengembangkan kebijakan, melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan pembangunan pendidikan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan (2) pengembangan dan penerapan sistem pengawasan pembangunan pendidikan termasuk sistem tindak lanjut temuan hasil pengawasan terhadap setiap kegiatan pembangunan pendidikan termasuk pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan; dan (3) penyempurnaan manajemen pendidikan dengan meningkatkan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pengelola pendidikan dan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien, transparan, bertanggung jawab, akuntabel serta partisipatif yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
Beberapa langkah kegiatan yang akan dilaksanakan adalah: (1) penataan dan pengaturan kembali pengelolaan pendidikan dalam era desentralisasi; (2) penyusunan sistem dan mekanisme perencanaan dan pengelolaan pendidikan dalam era desentralisasi; (3) penyusunan kebijakan peningkatan kapasitas unit pengelola pendidikan dalam rangka mewujudkan governance yang sehat dan akuntabel; (4) penyusunan anggaran pendidikan dan pembiayaan satuan pendidikan yang berbasis kinerja; (5) pengaturan inventarisasi dan sistem dokumentasi sarana, prasarana dan aset pendidikan; (6) penataan sistem diklat fungsional untuk peningkatan mutu aparatur secara berkelanjutan; dan (7) penguatan sistem informasi dan pelayanan pendidikan Depdiknas dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (seperti radio, televisi, komputer dan internet) secara efisien.
Dalam rangka pengembangan sistem pengawasan, perlu dilakukan perbaikan pelayanan kepada masyarakat dengan meningkatkan transparansi agar terhindar dari citra aparat atas praktek-praktek pelayanan yang berindikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (sesuai dengan Inpres No.5 Tahun 2004). Selama ini dipersepsikan dengan sangat kuat oleh masyarakat bahwa sumber KKN terbesar dianggap berada di instansi pelayanan masyarakat. Perbaikan pelayanan itu akan dilaksanakan melatui kegiatan-kegiatan berikut.
Pertama; penataan kembali struktur organisasi Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan penkembangan organisasi Departemen Pendidikan Nasionat. Sejalan dengan demokratisasi, partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah akan semakin besar, sehingga diperlukan keterbukaan dari birokrasi. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan persepsi atau kecurigaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pelayanan, struktur organisasi dinas perlu diperbaiki, misalnya dengan membentuk Subdin atau Seksi Hubungan Masyarakat yang secara aktif dan terbuka menjelaskan setiap langkah kebijakan pelayanan. Sebagai mitra pemerintah, masyarakat juga perlu diberikan penyuluhan, pembinaan, dan ajakan. untuk berperan aktif dalam perumusan pelayanan.
Kedua; peningkatan kapasitas aparat pemerintah yang menitikberatkan 2 (dua) aspek, yaitu: (1) perubahan mind-set, sikap mental dan perilaku sebagai pelayan masyarakat yang bebas KKN; (2) aspek teknis untuk memberikan kemampuan dan penguasaan terhadap tugasnya secara profesional dan handal. Dalam usaha merubah mind-set, sikap mental dan perilaku, perlu dilakukan advokasi yang menggarisbawahi penjelasan bahwa sebagai pelayan masyarakat, mereka dibiayai dengan uang rakyat sehingga semangat profesionalisme atas dasar prinsip menerima dan memberi (take and give) selalu melandasi kegiatan pelayanan sehari-hari. Dan perlu ditekankan pula bahwa dalam era modernisasi /globalisasi, cara berpikir dan sikap-sikap feodalistis sudah tidak relevan lagi.
Ketiga; menciptakan sistem pelayanan yang murah, cepat, terbuka dan menyenangkan. Indikator keberhasilan pelayanan adalah kepuasan masyarakat atas pelayanan yang murah (bahkan gratis), cepat, terbuka, ramah dan kooperatif. Untuk itu, perlu dilakukan pemangkasan birokrasi dan penerapan prinsip-prinsip efisiensi menuju pelayanan yang berorientasi pada "kepuasan pelanggan".
Keempat; menciptakan sistem pengawasan yang efektif dan objektif yang dapat mencegah praktek-praktek pelayanan yang berindikasi KKN. Sistem yang dimaksud harus mencakup pula rencana tindak-lanjutnya yang nyata dan efektif dapat dilaksanakan
Kelima; pemberdayaan masyarakat untuk mendorong diciptakannya pelayanan yang baik. Usaha ini dapat dilakukan dengan memberikan peran tertentu kepada masyarakat dalam perumusan sistem pelayanan dan pengawasan.
Keenam; pengembangan pemanfaatan ICT untuk mendukung peningkatan peran dan fungsi pelayanan. Sistem yang dikembangkan diusahakan untuk dapat memenuhi dua hal, yaitu: (a) kebutuhan manajemen atas sistem pendataan dan informasi yang akurat, up-to-date, dan mudah diakses; (b) kebutuhan masyarakat atas data dan informasi pelayanan pendidikan.
Program manajemen pelayanan merupakan sarana untuk sinkronisasi dan koordinasi tujuh program utama Departemen, yang dilakukan dalam prinsip alokasi anggaran yang tepat dan efisien, sesuai skala prioritas yang dijabarkan dalam tiga tema kebijakan. Untuk keperluan evaluasi pencapaian efektivitas pembiayaan, perlu pedoman penyusunan anggaran berbasis kinerja.
Ketujuh; untuk menopang pengelolaan yang efisien, ditata kembali sistem dan mekanisme inventarisasi dan dokumentasi sarana, prasarana dan aset pendidikan, termasuk pengelolaan dokumen dan arsip Depdiknas yang saat ini mengadapi kesulitan. Kegiatan ini dapat memanfaatkan peran ICT yang dapat mentransformasikan pendataan dan kearsipan konvensional ke sistem digital.
Kedeiapan; Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (PBKH). Program PBKH ini bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan siswa, baik yang berhubungan dengan aspek keterampilan dasar, maupun wawasan teknologi dalam rangka membangun masyarakat yang mampu memfasilitasi kehidupan dirinya dan melek teknologi. Oleh karena itu program ini meliputi dua bidang, yaitu: (1) Program PKH Pra-vokasional; dan (2) Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar. Program PKH Pra-vokasional merupakan bagian dari pendidikan kecakapan hidup. Program PKH pra-vokasional adalah serangkaian kegiatan dalam rangka pengembangan kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional penunjang. Pengembangannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar dan kebutuhan peserta didik. Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada teknologi, sehingga siswa atau peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan, sikap. dan keterampilan berpikir teknologis.
Beberapa implementasi dari program ini, antara lain sebagai berikut. (1) Program PKH Pra-vokasional di SMP merupakan program pembelajaran yang: (a) berisi bekal keterampilan dasar, praktis, dan sederhana: (b) manfaatnya langsung dapat dinikmati; (c) diselenggarakan dalam rangka mengembangkan potensi kewirausahaan; dan (d) bertujuan agar siswa (peserta didik) dapat memperoleh kesempatan beraktivitas produktif. Oleh karena itu, misi utama program PKH Pra-vokasional adalah membangkitkan dan mengembangkan kecintaan serta apresiasi siswa terhadap keterampilan dasar, menanamkan etos dan nilai kerja, - yang diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk mengembangkan diri yang sesuai dengan tuntutan hidup dan masyarakat lingkungannya. (2) Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar berbentuk kegiatan pembelajaran tentang teknologi yang mencakup teknologi konstruksi, konversi energi, informasi dan komunikasi, transportasi, bioteknologi, serta teknologi produksi. Program ini diselenggarakan di SD dan SMP umum, dalam rangka mendukung dan memperkuat pencapaian kompetensi siswa dari muatan kurikulum.

I. Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan
Program ini bertujuan untuk mengembangkan budaya baca, bahasa, sastra Indonesia dan daerah, pada masyarakat termasuk peserta didik guna membangun masyarakat berpengetahuan, berbudaya, maju dan mandiri. Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain adalah;
Pertama; kampanye dan promosi budaya baca melalui media masa dan cara-cara lainnya dalam rangka meningkatkan budaya baca secara meluas baik di kalangan persekolahan dan institusi pendidikan lainnya yang relevan, serta masyarakat luas.
Kedua; perluasan dan peningkatan kualitas pelayanan perpustakaan melalui: (a) penambahan dan pemeliharaan koteksi perpustakaan dan taman bacaan masyarakat ( termasuk koteksi pustaka elektronik); (b) pengadaan sarana dan revitalisasi perpustakaan ketiling dan perpustakaan masyarakat; (c) mendorong tumbuhnya perpustakaan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada di masyarakat; (d) peningkatan peran serta masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha dalam menyediakan fasilitas membaca sebagai sarana belajar sepanjang hayat; (e) pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pengetola perpustakaan, termasuk perpustakaan yang berada di satuan pendidikan; (f) peningkatan diversifikasi fungsi perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan sebagai tempat yang menarik, terutama bagi anak dan remaja, untuk belajar dan mengembangkan kreativitas; (g) pemberdayaan tenaga pelayan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar (PSB) dengan mengembangkan jabatan fungsional; (h) Pengembangan berbagai model layanan perpustakaan seperti pustakawandigitatisasi, otomatisasi dan perpustakaan etektronik.
Ketiga; pemantapan sistem nasional perpustakaan dalam rangka mewujudkan sistem perpustakaan yang memitiki kaitan fungsional dengan berbagai institusi pendidikan.
Keempat; peningkatan sinergi antara perpustakaan nasional, provinsi, kabupaten/kota dengan perpustakaan sekolah dan taman bacaan masyarakat melalui; (a) peningkatan jaringan perpustakaan dari tingkat pusat sampai daerah, satuan pendidikan, dan taman bacaan masyarakat; (b) peningkatan kerja sama perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, dan taman bacaan masyarakat, dalam memberikan pelayanan pada masyarakat berdasarkan standar kelayakan.
Kelima; pembinaan dan pengembangan bahasa untuk mendukung berkembangnya budaya ilmiah, kreasi sastra, dan seni.

J. Program Penetitian dan Pengembangan Iptek
Program ini bertujuan untuk meningkatkan fokus dan mutu kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan dasar, terapan, dan teknotogi sesuai dengan kompetensi inti dan kebutuhan pengguna. Pelaksana program ini terutama adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, Ditjen Dikti, dan lembaga penelitian perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain adalah; pertama, penelitian dan pengembangan di bidang pangan, energi, manufaktur, bioteknologi dan informatika; kedua, penelitian dan pengembangan program tematis; ketiga, pengembangan teknotogi proses untuk mendukung peningkatan produksi /produktivitas; keempat, pengembangan riset dasar dalam rangka pengembangan itmu pengetahuan; kelima, penelitian dan pengembangan di bidang pengukuran, standarisasi, pengujian dan mutu; keenam, penelitian untuk mendukung kebijakan pemerintah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum; ketujuh, pengkajian dan penelitian hibah bersaing.
K. Program-Program Lainnya
Program-program lainnya mencakup beberapa program penunjang yang menggambarkan fungsi-fungsi pendidikan dalam keterkaitannya dengan sektor lain, seperti perpustakaan, aparatur, pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknotogi, dan sejenisnya.
1. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan Anak
Program ini bertujuan untuk memperkuat sistem/mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender, termasuk sistem pendataannya, meningkatnya peran dan partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, tingkat nasionat dan daerah. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain; pertama, pengembangan mated dan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender (KKG); kedua, peningkatan kapasitas dan jaringan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, termasuk Pusat Studi Wanita/Gender; ketiga, penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaan Anak (PUA), di tingkat nasional dan daerah melalui penyusunan position paper dan Rencana Aksi nasional dan Rencana Aksi Daerah (RAD) PUG, yang merupakan integrasi dari penyusunan Rencana Aksi Pendidikan untuk Semua (RAN-PUS); keempat, penyusunan mekanisme perencanaan, pemantauan, dan evaluasi PUG dan PUA di tingkat nasional dan daerah; kelima, pengembangan model pendidikan keluarga berwawasan gender dan anak (PKBG); keenam, pengembangan model pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG); ketujuh, pengembangan gender sebagai body of knowledge and science; kedelapan, pengembangan pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan berwawasan gender.
2. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem pengawasan, audit kinerja dan keuangan, serta sistem akuntabilitas dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN. Berdasarkan kebijakan yang baru, penyusunan indikator kinerja unit pengelola pendidikan yang didasarkan pada standar nasional pendidikan dilakukan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan yang efektif.
Program strategis dalam program ini termasuk dalam tema kebijakan peningkatan governance dan akuntabilitas, yaitu peningkatan SPI untuk berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat Itjen, pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN, intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Itjen, intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP dan BPK, serta penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK. Selain itu, program strategis yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas, kompetensi, dan komitmen aparat ialah peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran, peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang-undangan, serta peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan.
Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara dan Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur sesuai dengan matra Peningkotan Giovernance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik dijabarkan dalam berbagai kegiatan sebagai berikut.
Pertama; peningkatan SPI (Sistem Pengendalian Intern) berkoordinasi dengan BPKP dan BPK; kegiatan itjen dalam peningkatan SPI ini selain perbaikan internal juga melalui koordinasi dengan pihak eksternal seperti BPK, BPKP, dan Bawasda. Berbagai rapat regional diselenggarakan dalam rangka menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap pengawasan, pelaksanaan pengawasan, dan tindak lanjut hash pengawasan. Demikian pula kegiatan pengawasan terpadu antara itjen dengan pengawas sekolah dan penilik pendidikan luar sekolah serta satuan pengawas internal pada unit kerja diselenggarakan dalam rangka sinergi pelaksanaan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pendidikan di daerah.
Kedua; peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat Itjen; kegiatan yang terkait dengan hat ini adalah pengembangan kelembagaan pengawasan (capacity building) terhadap fungsi-fungsi pengawasan yang lebih komprehensif dan akuntabel yang mencakup pengawasan aspek keuangan, substansi, dan ketenagaan. Seiring dengan pengembangan kapasitas fungsi pengawasan, sejak tahun 2004, auditor itjen telah terintegrasi dalam satu jabatan fugsional, yakni Auditor Pendidikan. Auditor itjen yang sebelumnya terkotak-kotak dalam bidang keuangan, substansi, dan kepegawaian, kini telah terpadu dan pelaksanaan pengawasan tidak parsial melainkan lebih utuh, mencakup seluruh aspek, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban.
Ketiga; intensifikasi don ekstensifikasi pemeriksaan oleh ITJEN, BPKP, dan BPK; intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan yang dilakukan oleh MEN dalam tahun 2005 berupa penambahan sasaran pengawasan yang pada tahun 2004 tidak seluruh obyek pemeriksaan ditargetkan untuk diperiksa, maka dalam tahun 2005 seluruh institusi di lingkungan Depdiknas direncanakan untuk diperiksa seluruhnya. Sebagai ilustrasi, jika pada tahun 2004 sebanyak 82 PTN hanya direncanakan diperiksa 65 PTN dan realisasinya hanya 51 PTN, maka pada tahun 2005 seluruh PTN akan diperiksa semua. Demikian pula ' 12 kantor Kopertis yang hanya 4 kantor yang diperiksa, maka pada tahun 2005 ditargetkan untuk diperiksa semuanya. Sedangkan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) yang pada tahun 2004 hanya 20 LPMP yang diperiksa, maka pada tahun 2005 diharapkan seluruh LPMP di setiap provinsi dapat diperiksa. Adapun intensifikasi pemriksaan MEN berupa penambahan frekuensi pengawasan, di mana pada tahun 2004 frekuensi pengawasan dan pemeriksaan (Wasrik Rutin) ke daerah hanya sebanyak 4 kali, maka pada tahun 2005 frekuensi Wasrik Rutin ke daerah ditingkatkan sebanyak 7 kali dengan sasaran seluruh entitas dapat terperiksa. Ketujuh frekuensi Wasrik Rutin tersebut terdiri dari pemeriksaan dana dekonsentrasi di provinsi dan kabupaten/kota sebanyak 4 kali, pemeriksaan PTN 2 kali, dan pemeriksaan lembaga non-dikti (LPMP, PPPG, BPPLSP, BPMR, BMTV, Balai/Kantor Bahasa, dan BPT Grafika) masing-masing sekali diperiksa dalam tahun 2005.
Keempat; intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh ITJEN; tindakan preventif yang dilaksanakan ITJEN yaitu bahwa dalam pelaksanaan pengawasan, ITJEN tidak hanya melakukan pemeriksaan terhadap program dan kegiatan yang telah dilaksanakan, akan tetapi juga memeriksa rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh misalnya, ketika ITJEN melakukan pemeriksaan pada periode April dan Mei 2005 yang lalu, di mana kegiatan obyek yang diperiksa pada tahun 2005 praktis belum ada karena anggaran/DIPA belum diterima, maka pemeriksaan selain terhadap pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan tahun 2004, juga terhadap perencanaan atau persiapan kegiatan yang dilakukan oleh obyek yang diperiksa untuk tahun 2005.
Kelima; penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK; selain intensitas monitoring tindak lanjut temuan pemeriksaan ditingkatkan, pada tahun 2005 diprogramkan untuk dilakukan rapat konsultasi di 6 regional yang tiap regional terdiri dari 5 provinsi. Rapat yang diselenggaran oleh ITJEN tersebut dihadiri oleh obyek yang diperiksa dengan mengundang BPKP dan BPK. Tujuan rapat regional tersebut adalah untuk membahas hasil temuan ITJEN, BPKP, dan BPK sehingga dapat dicapai kesepahaman dan kesepkatan antara obyek yang diperiksa dengan pemeriksa mengenai percepatan tindak lanjut hash pemeriksaan.
Keenam; pelaksanaan lnpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; dalam tahun 2005 ini telah diprogramkan kegiatan Rapat Nasional yang membahas tentang Pelaksanaan lnpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam kegiatan tersebut akan disosialisasikan bentuk-bentuk pelaporan dan format-format beserta tata cara pengisiannya yang terkait dengan program percepatan pemberantasan korupsi. Rapat nasional tersebut direncanakan akan dihadiri oleh seluruh wakil dari unit kerja di lingkungan Depdiknas, baik unsur Pusat maupun Daerah. Kegiatan ini dijadwalkan setelah bulan Oktober 2005, yaitu setelah APBN-P 2005 disetujui dan disahkan serta dapat direalisasikan anggarannya.
Ketujuh; peningkatan kapasitas dan kompetensi manajerial aparat; peningkatan kapasitas dan kompetensi manajerial aparat dilakukan melatui berbagai kegiatan baik yang bersifat internal maupun eksternat. Di lingkungan ITJEN telah dilakukan sebanyak 6 jenis pendidikan dan pelatihan teknis dari 11 jenis diktat yang diprogramkan datam tahun 2005. Selain itu, ITJEN juga mengirim para staf dan auditor untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BPKP yang terkait dengan jabatan fungsional auditor. Sebagai perwujudan dari pembinaan atau fasilitasi di bidang pengawasan sesuai dengan semangat otonomi dan desentralisasi pendidikan, ITJEN pada tahun 2005 telah mencanangkan pengawasan terpadu dengan para pengawas sekotah dan penitik pendidikan tuar sekotah, khususnya dalam rangka atih pengetahuan tentang pengawasan dana block grant, hibah, subsidi, atau imbal swadaya di bidang pendidikan, sehingga dihrapkan kapasitas dan kompetensi manajeriat aparat pengawasan di daerah akan semakin meningkat. Untuk mendukung terlaksananya upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi manajeriat aparat, ITJEN juga menyusun Standar Prosedur Operasonal Pengawasan Pendidikan, Pedoman Audit Kinerja, Studi Kebijakan Pengawasan Pendidikan Nasionat, dan Standar Kompetensi Auditor Pendidikan. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk membekati para aprat pengawasan dengan pengetahuan dan keterampilan serta pedoman yang handat dalam petaksanaan pengawasan dan pemeriksaan.
Kedelapan; peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran; perencanaan merupakan langkah awal yang sangat penting datam suatu kegiatan. Tanpa perencanaan yang matang, suatu program atau kegiatan akan kehilangan arah dan pada gilirannya akan kehilangan makna. Demikian pula penganggaran, adalah kegiatan yang tak terpisahkan dengan perencanaan. Oteh karena itu, perencanaa yang rasional disertai dengan penganggaran yang realistis akan menghasilkan kegiatan yang berhasil guna dan berdaya guna. Upaya ITJEN Depdiknas untuk meningkakan kompetensi aparat pendidikan dalam perncanaan penganggaran dilakukan melatui kegiatan audit kinerja. Dalam audit kinerja, selain dapat ditengarai adanya penyimpangan, juga dapat dideteksi apakah perencanaan program dan kegiatan telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, memperhatikan sumber daya yang tersedia, dan menghasilkan produk yang sebanding dengan inputnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja obyek yang diperiksa adalah menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oteh MEN dan berdasarkan isian instrumen tersebut diberikan penilaian atas kinerja unit yang diperiksa. Audit kinerja ini telah dilakukan di berbagai perguruan tinggi negeri dan pada tahun 2005 ini mulai dikembangkan dan diterapkan dalam pemeriksaan terhadap unit kerja selain PTN. Kegiatan lainnya dalam upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran adalah Evaluasi LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) tingkat departemen sesuai dengan SK Meneg PAN Nomor 239/1X/6/8/2003 yang menyatakan bahwa pimpinan instansi agar menugaskan aparat pengawasan internal di lingkungan masing-masing untuk melaksanakan evatuasi LAKIP. Dalam kegiatan evaluasi tersebut ITJEN berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja.
Kesembilan; peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang­ undangan; kegiatan prioritas ITJEN dalam menegakkan peraturan perundang­undangan yang berlaku dilaksanakan melalui pengawasan dan pemeriksaan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003. Dalam pemeriksaan operasional atau pemeriksaan komprehensif, auditor ITJEN memeriksa aspek keuangan pada setiap kuasa pengguna anggaran dan bendahara. Inspektorat Jenderal juga menelaah dasar hukum setiap prosedur pengadaan barang dan jasa apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misainya pengadaan secara penunjukan langsung. Dalam hat penegakan disiplin pegawai negeri sipil di lingkungan Depdiknas, selain dilakukan melalui pengawasan dan pemeriksaan rutin, juga dilakukan melalui peningkatan pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan atas dasar perintah dari pimpinan, pengaduan masyarakat, atau berdasarkan isu strategis yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini. Pada tahun 2005 ini, ITJEN memprogramkan pemeriksaan khusus dengan frekuensi meningkat dan dukungan personel yang cukup memadai sehingga diharapkan dapat mengantisipasi berbagai petanggaran, baik yang berupa kerugian negara/kewajiban penyetoran ke kas negara maupun pengenaan sanksi disiplin berdasarkan PP 30 Tahun 1980.
3. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan
Program ini bertujuan untuk membantu ketancaran pelaksanaan tugas pimpinan dan fungsi manajemen dalam penyelenggaraan kenegaraan dan kepemerintahan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain: (a) menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan; (b) mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi kantor kenegaraan dan kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan, belanja modal, dan belanja lainnya; (c) menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kerja kementerian dan lembaga; (d) mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung pelayanan; dan (e) meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif.
4. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain: (a) menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan atas jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS; (b) menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia aparatur terutama pada sistem karir dan remunerasi; (c) meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya; (d) menyempurnakan sistem dan kualitas mated penyelenggaraan diktat PNS; (e) menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan manajemen kepegawaian; dan (f) mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin lainnya.
5. Program Peningkaton Sarana don Prosarana Aparatur Negara
Program ini bertujuan menyediakan prasarana dan Sarana pendukung petaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang memadai pada unit kerja penyelenggara negara. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain: (a) meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; (b) meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan, perbaikan dan perawatan gedung dan peralatan; serta (c) peremajaan dan pemeliharaan transportasi dinas operasional untuk mendukung mobilitas, ketepatan dan kecepatan operasional petayanan umum.






BAB V
STRATEGI PEMBIAYAAN
Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, program-program pembangunan pendidikan dan sasarannya, serta imptementasi program dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam lima tahun ke depan, pelaksanaan program­program pembangunan pendidikan masih akan menghadapi berbagai keterbatasan sumberdaya, baik sarana-prasarana, ketenagaan, maupun anggaran pendidikan dari sumber APBN. Oteh karena itu, strategi pembiayaan disusun untuk menyiasati keterbatasan sumberdaya tersebut agar pelaksanaan program pembangunan pendidikan dapat memberikan andil yang signifikan terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasionat seperti yang diamanatkan oteh UU No. 20/2003.
Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional dalam lima tahun ke depan disusun dalam skala prioritas. Penetapan prioritas pembangunan pendidikan didasarkan pada: a) keberpihakan Pemerintah terhadap anak-anak dari keluarga yang kurang beruntung karena faktor-faktor ekonomi, geografi, dan sosial-budaya, untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; b) tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun non-formal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasionat; dan c) prediksi perkembangan kemampuan keuangan negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan.
Kebijakan desentralisasi pendidikan menuntut peningkatan kemampuan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan pendidikan di daerahnya. Oleh karenanya, pemerintah daerah harus dapat menyusun strategi pembiayaan untuk dapat mencapai target-target program yang disusun dalam perencanaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam berbagai aspek manajemen penyelenggaraan pendidikan itu merupakan bagian dari strategi implementasi Renstra Depdiknas. Renstra 2005-2009 yang disusun oleh pemerintah pusat harus dijabarkan oleh setiap unit utama yang ada di Depdiknas (4 Ditjen, Setjen, Itjen, dan Balitbang) menjadi Renstra unit utama untuk lima tahun ke depan. Renstra unit utama memuat perencanaan program yang akan dilaksanakan secara berkala setiap tahun untuk dapat mencapai target 15 program RPJM di tahun 2009, karena target-target tahunan unit utama pada dasarnya merupakan penjabaran dari target lima tahun Renstra.
Selanjutnya, pemerintah daerah harus menjabarkan program-program pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di daerah dalam rencana strategis lima tahun (Renstrada) 2005-2009. Berdasarkan Renstrada, pemerintah daerah membuat perencanaan pembiayaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan untuk mencapai target-target program di daerahnya hingga tahun 2009. Strategi pembiayaan disusun dengan memperhitungkan proyeksi: (i) pendapat asli daerah (PAD); (ii) Dana perimbangan yang meliputi dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); (iii) Dana Otonomi Khusus dan penyeimbang; serta (iv) perkiraan alokasi belanja pemerintah pusat berupa dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan (DTP). Sumber pendanaan lainnya yang dapat diperhitungkan adalah bantuan luar negeri, khususnya untuk pembiayaan program-program prioritas.
Karena keterbatasan keuangan pemerintah pusat, dan juga kendala daerah meningkatkan PAD, kesenjangan pendanaan (fiscal gap) di daerah akan sangat mungkin terjadi. Terjadinya kesenjangan itu diakibatkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pendanaan untuk mencapai target-target program yang telah ditentukan. Untuk menutup kesenjangan pendanaan, pemerintah daerah harus memperhitungkan sumber-sumber pendanaan lain yang mungkin dapat diupayakan, seperti bantuan luar negeri (donor) dan kontribusi masyarakat yang harus ditelaah per program. Semua kemungkinan skenario pembiayaan tersebut harus tertuang dalam Renstrada 2005-2009, sebagai pedoman pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerahnya, dalam rangka mendukung pencapaian target-target nasional program pembangunan jangka menengah 2005-2009.
A. Fungsi Pembiayaan Pendidikan 2005-2009
Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan, dalam kurun waktu 2005­2009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya; (2) memperkuat otonomi clan clesentralisasi pendidikan; serta (3) sebagai insentif clan disinsentif bagi peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
1. Memperjelas Pemihakan terhadap Masyarakat Miskin
Pemihakan terhadap masyarakat miskin dilakukan dengan menghilangkan berbagai hambatan biaya (cost barrier) bagi orangtua peserta didik dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD clan SMP yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut terdiri dari tiga jenis pembiayaan pendidikan yang selama ini dibebankan kepada orangtua peserta didik, yaitu: biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan seluruh anak usia sekolah dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun.
Pemerintah akan mulai menghilangkan hambatan biaya seluruh item biaya operasi satuan pendidikan di luar gaji pendidik clan tenaga kependidikan. Untuk melaksanakan amanat Konstitusi clan Undang-Undang No. 20/2003, Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri clan swasta, menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orangtua siswa dibebaskan dari biaya operasi satuan pendidikan, namun masih banyak keluarga paling miskin yang tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak dapat pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi menurunnya APK SMP karena hambatan biaya pribadi, Pemerintah menyediakan subsidi beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Subsidi beasiswa juga dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi sekolah (enrollment).
Hambatan biaya lainnya adalah biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang dapat mendorong terwujudnya mutu proses pembelajaran di sekolah. Pada tahun 2005, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sebagian besar dari biaya investasi satuan pendidikan milik pemerintah. Biaya investasi tersebut difokuskan pada perbaikan prasarana dan sarana pendidikan (gedung, ruang ketas, dan sarana belajar) yang mendesak untuk direhabilitasi agar dapat melindungi guru dan siswa melaksanakan proses belajar dengan baik.
2. Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan
Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengatur sistem pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU tersebut sumber keuangan APBD adalah PAD, DAU, dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan mempertimbangkan kemampuan yang berbeda antara daerah, DAU diberikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar­daerah (equalizing funds) melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Selain itu, melalui instrumen pendanaan DAK, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, setiap departemen membantu pembiayaan pembangunan sektornya di daerah. Ketiga pola pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat keuangan daerah, baik dalam rangka pelaksanaan kebijakan khusus yang menjadi prioritas nasional (pola DAK), maupun kewenangan pusat yang dilimpahkan dan ditugaskan ke daerah (Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan).
Fungsi pembiayaan pendidikan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pendidikan. Seperti disebutkan dalam UU No. 32 /2004 tentang Pemerintahan Daerah, sektor pendidikan adalah salah satu yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Depdiknas akan terus membantu Kabupaten/Kota dalam pembiayaan pembangunan sektor pendidikan melalui ketiga pola pendanaan itu untuk mengatasi kekurangan kemampuan pembiayaan (fiscal gap) bagi sektor pembangunan pendidikan, sampai tercapainya kondisi pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui peningkatan PAD, dan/atau peningkatan alokasi DAU.
Bersamaan dengan itu, komitmen dan kemampuan Kabupaten/Kota dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan terus ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas (capacity development). Subsidi pembiayaan dan pengembangan kapasitas pada prinsipnya diarahkan untuk makin memperkuat pelaksanaan desentralisasi dan kemandirian pemerintah Kabupaten/Kota (otonom). Pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan harus terus mendorong pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dan satuan pendidikan untuk dapat mencapai otonomi pengelolaan pendidikan. Pemerintah bersama pemerintah provinsi akan mengambil peran sebagai mitra pemerintah Kabupaten/Kota, melalui instrumen subsidi pembiayaan dengan pola Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Dana Dekonsentrasi pemerintah pusat diberikan kepada provinsi untuk membiayai pelaksanaan kewenangan pusat yang dijalankan oleh provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah. Penggunaan dana dekonsentrasi misalnya dalam rangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan, termasuk kegiatan evaluasi, akreditasi, sertifikasi dan pengembangan kapasitas. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar nasional yang diharapkan. Penggunaan DAK antara lain untuk pembiayaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bangunan-bangunan SD yang rusak berat yang akan diselesaikan pada tahun 2008, dan pembangunan sarana untuk memperkuas akses dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Pemberian DAK memerlukan dana pendamping dari daerah yang bersangkutan sekurang­kurangnya 10% dari besarnya DAK. Tujuan menyertakan dana pendamping adalah untuk menumbuhkan rasa kepemilikan daerah atas aset yang dibangun dengan subsidi DAK tersebut. Dana tugas pembantuan bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Pelaksanaan kewenangan yang harus berupa kegiatan fisik itu dijalankan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan oleh Gubenur, Bupati, atau Walikota.
3. Fungsi Insentif don Disinsentif bagi Peningkatan Mutu Pendidikan
Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi insentif dan disinsentif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Fungsi insentif dan disinsentif bagi peningkatan mutu akan dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan mutu.
Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk subsidi (block grant) berdasarkan kriteria seperti: tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan, akuntabilitas dalam pengelolaan serta manfaat yang diperoteh. Evaluasi peningkatan mutu pendidikan akan dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Depdiknas dapat bekerjasama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atau lembaga akreditasi/ sertifikasi dalam menyusun sistem evaluasinya. Mengingat koordinasi tugas­tugas pengendatian dan penjaminan mutu merupakan kewenangan pemerintah pusat, maka mekanisme pemberian block grant untuk pelaksanaan Fungsi insentif dan disinsentif dilaksanakan melalui pola pendanaan Dekonsentrasi.
B. Rencana Pembiayaan
Rencana pembiayaan yang akan dijelaskan dalam bagian ini mencakup pembiayaan pembangunan pendidikan oteh pemerintah dan pembiayaan program prioritas Depdiknas sesuai dengan RPJM. Pembiayaan pembangunan pendidikan yang menggunakan pendekatan ideal pembiayaan perlu dijelaskan untuk dapat memberikan gambaran besarnya anggaran yang sebenarnya diperlukan untuk membangun pendidikan yang bermutu sesuai dengan tujuan reformasi pendidikan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Hat ini menyangkut konsekwensi upaya mencapai standar-standar nasional pendidikan sesuai PP No.19/2005, seperti standar pengelolaan, standar kompetensi guru, standar sarana/prasarana, dsb. Rencana pembiayaan pembangunan pendidikan dan program prioritas sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai berikut.
1. Pembiayaan Pembangunan Pendidikan
Rencana pembiayaan pembangunan pendidikan dihitung berdasarkan struktur pembiayaan pemerintah yang terdiri Biaya Operasional dan Biaya Investasi. Biaya Operasional terdiri atas Bioya Administrasi Pusat, Provinsi, don KabupotenlKota, dan Bioyo Operasional Pendidikan (PAUD, Dikdas, Dikmen, PNF, Dikti, clan PMPTK). Biaya Investasi terdiri atas komponen pembiayaan program yang diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu peningkatan mutu (quality improvement), pengembangan sarana/prasarana (facility development), dan pengembangan kapasitas pengelolaan (capacity development). Beberapa program yang termasuk dalam alokasi pembiayaan peningkatan mutu adalah program advokasi /komunikasi publik, perluasan dan mutu PAUD, pengembangan mutu SD/SMP/SMA/SMK, pengembangan governance PT, dan pengembangan /manajemen guru. Program yang termasuk dalam alokasi dana pengembangan sarana/prasarana adalah pembangunan gedung baru, rehabilitasi dan sumberdaya pendidikan. Program yang termasuk dalam alokasi dana pengembangan kapasitas adalah peningkatan manajemen dimulai dari manajemen provinsi, manajemen kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan termasuk monitoring, evaluasi clan peningkatan akuntabilitas. Termasuk dalam alokasi dana ini ialah untuk membiayai pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan.
Perhitungan biaya operasional tahun 2005 menggunakan besarnya biaya satuan per siswa per tahun menurut jenjang, dari sekolah dengan mutu rata­rata berdasarkan studi Abbas (2004) dan McMahon (2003). Sedangkan perhitungan biaya operasional tahun 2009 menggunakan besarnya biaya satuan per siswa per tahun menurut jenjang dengan mutu yang sangat baik dalam studi yang sama.
Perhitungan biaya investasi didasarkan pada kebutuhan biaya untuk pengadaan lahan, sarana dan prasarana, serta pengembangan sumberdaya manusia. Seperti telah disinggung di depan, baik biaya operasional maupun biaya investasi dihitung sesuai dengan komitmen Pemerintah untuk mengupayakan pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Hat ini berarti proyeksi pembiayaan telah memperhitungkan optimalisasi penggunaan dana pemerintah dan kontribusi swasta yang berorientasi pada peningkatan kualitas manajemen, termasuk proporsi kontribusi swasta/pemerintah (non­government/government shares) yang makin tinggi pada jenjang Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi (post-basic education). Proyeksi juga tetah memperhitungkan pengaruh variabel ekonomi makro.
Tabel 5.1
Perkiraan Jumlah Kebutuhan Dana Pemerintah dan Dana yang belum Terpenuhi (dalam trillun rupiah)

1. Dana Operasional 79.0 86.6 94_1 101,8 109,5
Non-Diskresi
2. Dana Investasi 25.4 28.9 32.7 34.2 37.9
Dlskresl
3. Jumlah Kebutuhan 104.5 115.6 126.9 136.0 147.4
Pembiayaan
4. Perkiraan Sumber 65.0 68.3 72.7 75.2 79.0
APBN/D
S. Dana belum 39.5 47.3 54.2 60.8 68.4
terpenuhi

Caravan: Proyeksi anggaran Derdasarkan tanun 2005 dengan dasor Rp65 triliun dan kenaikan 5%
Tabel 5.1 memuat rencana pembiayaan dengan metode perhitungan di atas. Nomor 1, 2, dan 3 masing-masing merupakan besaran Biaya Operasional, Biaya Investasi, dan Total keduanya. Masing-masing sudah memper­hitungkan asumsi inflasi 7% untuk Biaya Operasional, 10% untuk Biaya Investasi. Nilai total adalah kebutuhan pembiayaan pem­bangunan pendidikan kita dalam lima tahun ke depan.
Sementara itu, sumber pembiayaan pendidikan 2005 yang berasal dari APBN/APBD diperkirakan sebesar 65 triliun, di luar dana kontribusi masyarakat. Berdasarkan perkiraan tersebut, proyeksi dana yang belum terpenuhi pada tahun 2005 diperkirakan sebesar 39.5 triliun. Bila kenaikan anggaran APBN/D hanya 5% per tahun, maka besarnya sumber pembiayaan pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 79 triliun, dan besarnya dana yang belum terpenuhi menjadi 68,4 triliun.
Untuk mengetahui kemungkinan pemenuhan kekurangan dana (fiscal gap), sumber-sumber dana yang dapat diperhitungkan di luar pemerintah ialah tambahan pembiayaan dari pemerintah daerah, masyarakat (untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi), dan donor luar negeri.
Tabel 5.2 menampilkan skenario kemungkinan pemenuhan kekurangan dana tersebut. Nomor 1 adalah total kebutuhan pembiayaan 2005-2009; Nomor 2 merupakan perkiraan anggaran yang telah disepakati antara pemerintah dan Panja DPR 2005-2009 ; Nomor 3 adalah kekurangan kebutuhan dana 2005-2009, setelah dikurangi anggaran hasil kesepakatan Panja DPR; Nomor 4 adalah selisih dari perkiraan sumber APBN/D untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan anggaran hasil kesepakatan Panja DPR dari tahun 2005 s/d 2009, yang berturut­turut meningkat sebesar 10% (2006), dan 5% (2007-2009); Nomor 5 merupakan asumsi besarnya pemenuhan oleh donor luar negeri, sebesar 5% dari total kebutuhan pembiayaan 2005-2009; Nomor 6 adalah perkiraan besarnya dana kontribusi masyarakat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi (post­basic education) 2005-2009; Nomor 7 merupakan jumiah dari proyeksi sumber APBN/APED (Nomor 4), perkiraan donor luar negeri (Nomor 5), dan perkiraan kontribusi dana masyarakat (Nomor 6).








Tabel 5.2 Perkiraan jumlah kekurangan dana yang mungkin dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri (donor) 2005-2009 Dalam Tnliun Rupiah

KETERANGAN 2005 2006 2007 2008 2009
1 Total kebutuhan pembiayaan 104.5 115.6 126.9 136.0 147.4
2 Kesepakatan Panja 24.9 33.8 43.4 54 65.5
3 Kekurangan kebutuhan 79.6 81.8 83.5 82.0 81.9
4 Proyeksi Kontribusi Pem.Daerah 40.1 44.1 46.3 48.6 51.1
5 Perkiraan Donor Luar Negeri 5.2 5.8 6.3 6.8 7.4
e KontribusiDana Masyarakat 14 15.8 17.7 19.6 22.2
7 Jumlah poin 4,5,6 59.3 65.7 70.4 75.0 80.6
Kekurangan (fiscal gap) 20.3 16.1 13.1 7.0 1.3

Dari jumlah pada nomor 7 (jumlah perkiraan kontribusi pemerintah daerah, kontribusi donor luar negeri, dan kontribusi masyarakat), diperoleh kekurangan dana (fiscal gap) berturut-turut sebesar (datam Rupiah) 20,3 triliun (2005); 16,1 tritiun (2006); 13,1 triliun (2007); 7,0 triliun (2008); dan 1,3 triliun (2009). Sejalan dengan meningkatnya kemampuan keuangan dari berbagai sumber itu, fiscal gap juga makin membaik walaupun sampai dengan tahun 2009 jumlahnya masih 1,3 triliun rupiah. Beberapa alternatif untuk menutup fiscal gap ialah dengan mengupayakan peningkatan sumber pendanaan dari pemerintah daerah, partisipasi pendanaan yang makin besar dari masyarakat, atau meningkatkan bantuan luar negeri (donor).
2. Rencana Pembiayaan Program Prioritas
Berdasarkan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah pada tahun 2004, diperoleh skenario kenaikan secara bertahap anggaran pendidikan berdasarkan proyeksi kapasitas fiskal pemerintah hingga mencapai 20% dari Belanja Pemerintah. Rencana kenaikan tersebut berturut-turut (mulai 2006) adalah 12% (33,8 triliun), 14,7% (43,4 triliun), 17,4% (54 triliun), dan 20,1% (65,5 triliun). Dengan skenario tersebut, anggaran pendidikan dialokasikan kepada masing-masing program sesuai dengan urutan prioritas yang telah ditetapkan oleh Depdiknas dan sesuai RPJM.
Setiap program pembangunan pendidikan yang tercantum dalam RPJM memiliki tingkat prioritas yang berbeda. Prioritas anggaran, selain ditentukan untuk mengatasi masalah-masalah yang mendesak, juga dimaksudkan untuk melanjutkan upaya yang telah dilakukan sebelumnya dalam mengembangkan dasar-dasar bagi pencapaian tahapan berikutnya, dalam kerangka pencapaian tujuan pembangunan pendidikan jangka panjang. Prioritas program dijabarkan lebih lanjut dalam kegiatan strategis dalam rangka mencapai sasaran-sasaran jangka menengah sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas telah menetapkan 37 kegiatan strategic yang terbagi dalam tiga tema pembangunan pendidikan, yaitu pemerataan clan perluasan akses (13 kegiatan), mutu, relevansi, dan daya saing (13 kegiatan), dan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik (11 kegiatan). Dalam pelaksanaan anggaran, pembiayaan 37 kegiatan strategis dibebankan pada 15 program pembangunan pendidikan.
Tabel 5.3 berikut memuat rencana anggaran 15 program pembangunan pendidikan, dimana secara keseluruhan nilai nominal anggaran mengalami kenaikan hingga tahun 2009, mengikuti skenario kenaikan anggaran berdasarkan kesepakatan pemerintah dengan Panja DPR. Penyusunan alokasi anggaran tahun 2005 bersumber dari rancangan APBN-P 2005, sedangkan untuk tahun 2006 disusun berdasarkan rencana penganggaran Depdiknas yang ingin diusulkan ke DPR. Angka-angka alokasi anggaran tahun 2007-2009 merupakan proyeksi yang dihitung dengan basis anggaran berdasarkan kesepakatan Depdiknas dengan Panja DPR. Setiap program diproyeksikan dengan asumsi pertumbuhan berdasarkan target alokasi di tahun 2009.
Pendanaan biaya operasional Wajar pendidikan dasar 9 tahun menempati prioritas pertama, untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, yang ditargetkan akan selesai pada tahun 2009. Total anggaran untuk Program Wajar Dikdas 9 Tahun pada tahun 2005 adalah sekitar 12,1 triliun rupiah, yang diperuntukkan bagi pembiayaan bantuan operasional satuan pendidikan (BOS) SD/MI-SMP/MTs sederajat; penyediaan sarana clan prasarana pendidikan, termasuk perbaikan gedung/ruang kelas; perluasan akses SLB clan sekolah inklusif; serta pengembangan sekolah wajar layanan khusus.
Tabel 5.3
Proyeksi Anggaran Depdiknas Menurut Program, Tahun 2005-2009

TAMUN
Na Program :00s 2006 2007 2ooa 2009
1 Pmdldaun End Usla O3n1 253,060 961.020 1,605,974 2,007 468 1,079,507
2 Wah6 aebjr Pmdldlun Oar 9 Tahun 12.097.784 15,297,857 16,106,9641 18,042,835 19 691,587
3 Pm6d,lkm 1Amryah 2,772.160 7,794,756 5,447.214 6,781,735 8,918,082
4 P9ndldlk&n Tlnhl 6,793,215 7,300.000 9,500,000 12,900,000 15,500,000
5 P~Idlk.N9n-Prmal 718,417 1,153,600 1,620,912 2.631,30 4,647,050
6 Peolrgk.Mut.P”did*danT”apkependld*rl 3,161,5431 3,675,000 S,9Q,410 7,SU,SSo 9,612.070
7 AlanalaemPelayananPmdidikul 192,523 74’1,4631 1,482,220 2,077,912 2,681,264
4 Penelltlm dm PerywMSnpn Prldldlkan 46.390 738,0W 414.000 540,000 65S,ow
9 Pmlogk. Pmplvavn den Akunta6Mtr AP, NOBara 28,501 117 166, 1”,032 229,645 721,502
10 Penelltlan clan Penjen*anpo Opt” 40,000 40,000 42,600, 45.769 48,319
11 Pence+156.Bud.,,Sau6Pe1n61rur1Perwstahaan 70,2751 114,043 144,796 217,197 125,”6
12 Pmpatan “1emba13am PUG clan Mak 17,300 17,100 25,950 38,925 58,188
13 Panj laaan Sumbee oaea Marlusla Aparatur 5,000 5,000 10.000 20.000 40,000
14lPaMnIkatanSaranaPrasranaAprwur 112,215 132,849 166.824 179,797, 191,434,
15 PmTlm9 P”pmm1lmegsram6k~Mahan 432,468 506,946 661,202 704,160 749,952
lumlah 26,200,872 73,600,000 47,400,000 54,000,000 66,500,000
kasmakwanPAMJA 24.900,000 33.800,000 41.400.0001 $4,000,0001 65,500,0001

Catatan : 1. Sebesar Rp 4,15 tri0un dari kompensasi BBM tahun 2005 masuk pada Program Waiar Dikdas 9 Tahun
2. Untuk tahun 2006-2009 dipredlksi dana kompensasl BBM setiap tahun sudah teranggarkan pada APBN untuk Program Waiar Drkdas 9 Tahun
3. Alokasl D1kti belum lermasuk Pendapatan Negara Bukan Paiak IPNBPI
BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Komponen pembiayaan yang termasuk dalam BOS adalah uang formulir pendaftaran, buku, pemehharaan, ujian sekolah clan ulangan, honor guru/tenaga kependidikan honorer, serta kegiatan kesiswaan. Secara bertahap, BOS atau subsidi dikembangkan menjadi school funding formulation yang memperhitungkan kemampuan masyarakat kaya can miskin, serta harga setempat. Dengan kebijakan subsidi BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan pendidikan dasar bebas biaya terbatas. Selain itu, pemerintah tetap akan memberikan subsidi biaya personal bagi sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin dan daerah bermasalah.
Anggaran Wajar Dikdas 9 Tahun diperuntukkan juga untuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Penyediaan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup rehabilitasi dan revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Sekitar 200 ribu unit akan selesai direhabilitasi tahun 2008, sementara sekitar 300 ribu unit ruang Was yang rusak ringan dibebankan kepada APBD kabupaten/kota. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan penyediaan sarana/prasarana antara lain diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB). Pembangunan USB/RKB hanya dilakukan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk lebih mendorong peningkatan APM SMP/MTs/sederajat makin mendekati angka APM SD/MI/sederajat yang sudah lebih baik.
Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang dianggarkan sekitar 3,1 triliun (2005), selain untuk rekrutmen guru dalam rangka program Wajar Dikdas, juga akan digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu pengembangan guru sebagai profesi dan pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua kebijakan yang strategis untuk membenahi persoalan guru tersebut akan terus berlanjut dengan anggaran 9,6 triliun pada tahun 2009.
Pendidikan Non-Formal (PNF) dianggarkan sekitar 348 miliar (2005) yang antara lain digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis berikut, baik yang termasuk dalam tema pemerataon don perluasan akses pendidikan, maupun peningkatan mutu, relevansi, don daya saing. Kebijakan yang dimaksud ialah Perluasan Akses Pendidikan Wajar Non-Formal dan Pendidikan Keaksaraan bagi penduduk usial5 tahun ke atas, serta Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills), yang merupakan bagian dari 36 program strategis. Kebijakan strategis pendidikan keaksaraan ingin mendorong penduduk usia >15 tahun yang memiliki tiga buta, yaitu buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar, mengikuti pendidikan keaksaraan fungsional. Program ini menargetkan penurunan penduduk buta aksara menjadi 5% penduduk pada tahun 2009. Jumlah penduduk buta aksara akan dikurangi sekitar 7,5 juta orang selama lima tahun, atau rata-rata sebanyak 1,5 juta orang setiap tahunnya. Untuk itu, diperlukan dana sebesar 2,6 triliun untuk melaksanakan program keaksaraan fungsional selama lima tahun, atau membutuhkan dana sekitar 500 miliar setiap tahun. Sampai dengan tahun 2009, anggaran PNF terus ditingkatkan hingga mencapai sekitar 4,6 triliun.
Pendidikan PAUD dianggarkan sekitar 253 miliar (2005), diperuntukkan bagi kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemerataan don perluasan akses, yaitu Perluasan akses PAUD. Anggaran tersebut berangsur-angsur meningkat hingga mencapai 3 triliun pada tahun 2009. Pendidikan Menengah dianggarkan sekitar 2,8 triliun (2005) don akan ditingkatkan hingga 8,9 triliun pada tahun 2009, yang antara lain untuk membiayai kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemeratoon don perluosan akses pendidikon, serta peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu Perluasan Akses SMA/SMK dan SM Terpadu; Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup; Pengembangan Sekolah Berkeunggulan (lokal dan internasional); Akselerasi Jumlah Program Studi Kejuruan, Vokasi, dan Profesi.
Program Pendidikan Tinggi yang dianggarkan 6,4 triliun (2005), diperuntukkan bagi kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemeratoon don perluosan okses, yaitu program Perluasan Akses PT don Pemanfaatan ICT sebagai media pembelajaran jarak jauh, serta tema peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu program yang mendorong jumlah program studi untuk masuk dalam 100 besar Asia, don peningkatan jumlah don mutu publikasi ilmiah don Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Anggaran Pendidikan Tinggi terus ditingkatkan hingga mencapai 15,5 triliun pada tahun 2009.
Program Manajemen Pelayanan Pendidikan dianggarkan sekitar 392,5 miliar (2005), digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema Governance, Akuntabilitas, don Pencitroan Publik, yaitu Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Aparat dalam perencanaan don penganggaran; serta Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Manajerial Aparat. Program yang penting dalam peningkatan kemampuan pengelolaan pendidikan ini akan terus ditingkatkan anggarannya hingga mencapai sekitar 2,7 triliun pada tahun 2009.
Program Peningkatan Pengawasan don Akuntabilitas Aparatur Negara yang dianggarkan 28,5 miliar pada tahun 2005 akan terus ditingkatkan hingga mencapai 321,5 miliar pada tahun 2009. Anggaran program akan digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema Governance, Akuntabilitas, don Pencitroon Publik, yaitu Peningkatan SPI yang berkoordinasi dengan BPKP don BPK; Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Pemeriksaan Aparat ITJEN; Pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN; Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh itjen; Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh itjen, BPKP, dan BPK; serta Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK.
Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan yang dianggarkan 86,4 miliar (2005), dan meningkat hingga 655 miliar (2009), diharapkan dapat meningkatkan mutu penelitian untuk mendukung kebijakan. Anggaran program­program lainnya (2005), yaitu program Penelitian dan Pengembangan Iptek (40 miliar), Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan (70,3 miliar), Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak (17,3 miliar), Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur (5 miliar), Peningkatan Sarana Prasarana Aparatur (112,2 miliar) serta Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan (432,5 miliar), juga ditingkatkan bertahap hingga tahun 2009, agar dapat memberikan dukungan yang makin efektif untuk berhasilnya program-program lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kebijakan strategis lainnya yang belum disebutkan di atas, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/SM terpadu, SLB, dan PT, serta Penerapan Telematika dalam pendidikan, sudah termasuk dalam pola-pola pendanaan beberapa program yang relevan pada jenis dan jenjang pendidikan masing-masing.







57









BAB VI
SISTEM MONITORING DAN EVALUASI
(Bab ini perlu dikaji ulang, terutama butir D)

Sistem monitoring dan evaluasi (Sistem Monev) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Renstra Departemen Pendidikan Nasional. Tujuan Monev adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian dan kesesuaian antara rencana yang telah ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 dengan hasil yang dicapai berdasarkan kebijakan yang dilaksanakan melalui kegiatan dan/atau program pendidikan nasional di setiap satuan, jenjang, jenis, dan pendidikan secara berkala. Monev dilakukan dalam konteks desentralisasi pendidikan, yang ditempuh melalui proses perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan pendidikan di tingkat pusat dan daerah. Proses ini sekaligus.
sebagai upaya pemberdayaan sekaligus peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparat Monev di berbagai tingkatan secara sinergis dan berkesinambungan, sehingga desentralisasi pendidikan dapat dilaksanakan dengan baik dalam waktu lima tahun yang akan datang.
Monev dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi terhadap lembaga yang lebih rendah sampai ke satuan pendidikan. Monev dapat dilakukan oleh unit­unit utama dalam Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan, satuan pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dan/atau Badan Akreditasi Daerah Sekolah/Madrasah (BAD-S/M) serta Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Acuan utama dalam mengukur kesesuaian standarisasi yang tercantum dalam Renstra dan/atau Renstrada 2005-2009 adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP). Apabila dalam pelaksanaan Monev ditemukan masalah atau penyimpangan, maka secara langsung dapat dilakukan bimbingan, saran-saran dan cara mengatasinya serta melaporkannya secara berkala kepada stakeholders. Stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan nasional adalah orangtua siswa, masyarakat luas, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Satuan Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para Donatur baik milik pemerintah maupun swasta dan birokrat dari berbagai tingkat pemerintahan serta dari luar negeri. Melalui Monev dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan (keberhasilan), ketidakberhasilan, hambatan, tantangan, dan ancaman tertentu dalam mengelola dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan satuan pendidikan.
A. Prinsip datam Metaksanakan Monev
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan berdasarkan prinsip­prinsip sebagai berikut: 1) tujuan dan hasil yang diperoleh dari Monev jelas; 2) pelaksanaan Monev dilakukan secara objektif dan harus dilakukan oleh petugas yang memahami konsep, teori dan proses serta pengalaman dalam melaksanakan monev agar hasilnya sahih dan terandal; 3) pelaksanaannya dilakukan secara terbuka (transparan) sehingga dapat diketahui oleh siapapun yang berkepentingan dan dilaporkan kepada stakeholders secara luas melalui berbagai cara; 4) partisipatif, artinya melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif; 5) akuntabel, artinya pelaksanaannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara internal dan eksternal; 6) komprehensif, yaitu mencakup seluruh objek agar dapat menggambarkan secara utuh kondisi dan situasi sasaran Monev; 6) tepat waktu, yaitu pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan pada saat yang tepat agar tidak kehilangan momentum yang sedang terjadi; 7) berkesinambungan, yaitu dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan; 8) berbasis indikator kinerja, yaitu kriteria/indikator yang dikembangkan berdasarkan 3 (tiga) tema kebijakan Depdiknas; 9) efektif dan efisien, artinya target Monev harus dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ketersediaannya terbatas dan sesuai dengan yang direncanakan.
B. Landasan Hukum dalam Petaksanaan Monev
Monev yang dilaksanakan berdasarkan beberapa landasan hukum di bidang pendidikan atau peraturan perundangan lain yang terkait dengan pendidikan, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP); dan 4) berbagai peraturan perundangan terkait lainnya. Selain merujuk pada berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada, perlu juga mempertimbangkan beberapa draft Undang­Undang dan Peraturan Pemerintah seperti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Pendidikan Nasional.
C. Pelaksana Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dapat ditakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan.
1. Monitoring dan Evaluasi oleh Pemerintah
Sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah, monev dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta institusi lain yang berkompeten. Dalam konteks pemerintah, monev dimaksudkan untuk menggati masukan, data, dan informasi yang dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan nasional. Kebijakan nasional itu terutama yang berkaitan dengan hat-hat sebagai berikut:
a) Pengembangan dan penetapan acuan kurikulum nasional.
b) Pengembangan dan perumusan standarisasi mutu dan relevansi pendidikan.
c) Pengembangan dan pelaksanaan pemeratan dan perluasan kesempatan pendidikan.
d) Peningkatan daya saing output dari kebijakan, kegiatan dan program pendidikan oleh pemerintah di tingkat regional maupun internasional
e) Pengembangan dan perumusan kebijakan mekanisme pengawasan, evaluasi, dan monitoring
f) Pemberian masukan bagi Pemda tentang kelebihan dan kekurangan dalam implementasi kebijakan nasional yang tertuang dalam Renstrada 2005-­2009.
g) Peningkatan kapabilitas dan kapasitas aparat daerah dalam menjabarkan Renstra Depdiknas menjadi Renstrada 2005-2009, yang implementasinya disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kebutuhan daerah. Dengan demikian, Pemda dan satuan pendidikan dapat melaksanakan rencana strategic selama lima tahun ke depan dan mampu mengelola program secara efektif, efisien, akuntabel, transparan, dan produktif.
h) Penyusunan anggaran pendidikan yang memihak pada orang miskin dan satuan pendidikan. Untuk itu, pemerintah berkewajiban melakukan Monev atas anggaran yang berasal dari APBN yang berbentuk DAK, DTP, dan Dekon. Sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2, Ayat (3), pemerintah perlu menyusun pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
i) Perwujudan aparatur pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang bebas dari KKN, yang ditandai oleh menurunnya jumlah kasus-kasus KKN yang terjadi.
j) Peningkatan citra publik pemerintah Indonesia terutama dalam bidang pendidikan.
k) Memberi masukkan bagi BSNP, BAN-S/M, BAD-S/M, BAN-PT, BAN-PNF, BAD­PNF, Lembaga Sertifikasi Kompetensi dan peningkatan kinerja badan­badan tersebut dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu, monitoring dan evaluasi program, kegiatan dan hash belajar tingkat nasional.
2. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi
Tujuan Monev yang dilakukan oleh pemerintah provinsi adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada provinsi bersangkutan sesuai dengan Renstrada 2005-2009; (2) memperbaiki kinerja aparatur Pemda kabupaten/kota, kecamatan dan satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (3) meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda dan menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda provinsi dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu, Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala (triwulanan, semesteran, dan tahunan) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda Provinsi terhadap kinerja seluruh kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut dengan berdasarkan laporan dari kabupaten/kota kepada pemda provinsi. Kesemuanya itu merupakan masukkan penting bagi Depdiknas dalam menyusun laporan dan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
Monev terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap kabupaten/kota dilaksanakan oleh BAN-S/M, BAN-PNF, yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi dan Dewan Pendidikan tingkat provinsi. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan Monev adalah Standar Nasional Pendidikan (PP Nomor 19/2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas.
Tim Monev tingkat provinsi merupakan unsur utama dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi pendidikan provinsi yang juga merupakan bagian dari jaringan sistem informasi pendidikan nasional.
3. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Tujuan Monev yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota tersebut sesuai dengan Renstrada Kabupaten/kota 2005­2009; (2) memperbaiki kinerja aparatur Pemda kecamatan dan satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (3) meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda kabupaten/kota dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu, Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala Dinas Pendidikan Kabupaten/kota (triwulanan, tengah tahunan, dan tahunan) kepada Dinas Provinsi. Data dan informasinya diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda kabupaten/kota terhadap kinerja seluruh aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dalam kabupaten/kota tersebut dan dari laporan Dinas Pendidikan Kecamatan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/kota.
Peran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Monev sebagai pelaksana utama yang secara berkala melakukan Monev untuk mengetahui secara cepat berbagai hat yang terjadi di wilayahnya, sebagai hash dari implementasi kebijakan teknis dan administratif yang tercantum dalam Renstrada kabupaten/kota. Dalam melaksanakan Monev Dinas Pendidikan perlu menyertakan berbagai pihak yang terkait, seperti Dewan Pendidikan, Kandep Agama, para Camat, dan Komite Sekolah/PLS dalam kabupaten/kota tersebut. Dinas Pendidikan kabupaten/kota juga berkewajiban untuk melaporkan hash Monev dan memberikan saran-saran untuk perbaikan yang dipandang perlu kepada Bupati/Wali Kota, stakeholders dan pihak lain yang terkait. Monev tingkat kabupaten/kota harus mampu menyajikan data, informasi dan peta pendidikan secara aktual, lengkap dan rinci di setiap kecamatan maupun informasi dan data pendidikan secara keseluruhan di kabupaten/kota tersebut.
Tim Monev tingkat kabupaten/kota merupakan unsur penting dalam penyusunan dan implementasi sistem informasi pendidikan kabupaten kota dan merupakan bagian dari sistem informasi pendidikan provinsi yang secara proaktif dan berkala memberikan data dan informasi ke sistem informasi provinsi.
Monev terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap satuan pendidikan di tingkat kecamatan dilakukan oleh BAD-S/M dan BAD-PNF dengan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan di kabupaten/kota tersebut. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan Monev adalah Standar Nasional pendidikan (PP Nomor 19/2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas.
4. Monitoring dan Evaluasi oleh Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan
Tujuan Monev yang dilakukan oleh Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada kecamatan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam Renstrada Kabupaten/kota 2005-2009; (2) memperbaiki kinerja satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (3) meningkatkan efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu, Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan (triwulanan) tengah tahunan, dan tahunan) kepada Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Data dan informasinya diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda kecamatan terhadap kinerja seluruh aparatur di setiap satuan pendidikan dan berasal dari laporan petugaqs di setiap satuan pendidikan.
Monev di tingkat kecamatan ditekankan agar dapat menyajikan data dan informasi pendidikan secara aktual, lengkap dan rind di setiap desa/satuan pendidikan serta, data dan informasi pendidikan secara keseluruhan di kecamatan tersebut.
Tim Monev kecamatan secara berkala dan proaktif memberikan data dan informasi pendidikan di kecamatan tersebut ke sistem informasi pendidikan tingkat kabupaten/kota.
5. Monitoring dan Evaluasi oleh Satuan Pendidikan
Peran satuan pendidikan dalam Monev ada tiga hat, yaitu sebagai (1) pelaku utama dalam mengevaluasi satuan pendidikan yang hasilnya dikemas dalam bentuk pengembangan data dan informasi pendidikan; (2) pemberi masukan dan penyusun laporan kepada Dinas pendidikan kecamatan tentang kondisi di satuan pendidikannya; dan (3) pelaku utama dalam menindaklanjuti hash Monev dalam bentuk program nyata di satuan pendidikan bersangkutan. Fungsi Monev dalam satuan pendidikan adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada satuan pendidikan yang bersangkutan secara berkala, yang hasilnya dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja.
Laporan dari masing-masing tingkat pemerintahan merupakan pertanggungjawaban hasil kinerja tahunan sebagai bentuk akuntabilitas publik atas pencapaian kinerja dalam tahun tertentu atau dari tahun ke tahun, yang secara keseturuhan merupakan pencapaian target Renstra Depdiknas 2005-2009 selama lima tahun. Sistem Monev yang ada di setiap tingkat pemerintahan sampai dengan satuan pendidikan merupakan satu kesatuan Monev yang saling menentukan kualitas dan sating tergantung satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, Monev yang bersifat top down perlu dijaga mutunya karena akan menentukan kualitas Monev di setiap tingkat pemerintahan dan kualitas sistem pendataan dan informasi Departemen Pendidikan Nasional.
6. Monitoring dan Evaluasi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
BSNP merupakan mitra sejajar Departemen Pendidikan Nasional dalam pengembangan, pemantauan, dan pengendalian mutu pendidikan nasional. BSNP merupakan badan independen dan mandiri yang berkedudukan di pusat yang bertugas melaksanakan penilaian pencapaian standar nasional pendidikan melalui ujian nasional.
Tujuan dilakukannya Monev oleh BSNP ialah untuk mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Sedang Monev yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan ialah untuk pemetaan pencapaian standar nasional, mengembangkan model interfensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga mencapai standar nasional dan membantu BAN-S/M, BAN-PNF, dan BAN-PT dalam melakukan akreditasi satuan, pendidikan.


D. Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional
Monev mencakup aspek: 1) pemerataan dan perluasan akses; 2) penjaminan mutu, relevansi pendidikan dan daya saing, 3) governance, akuntabilitas dan pencitraan publik. Lembaga-lembaga yang melaksanakan Monev yaitu lembaga-lembaga penjaminan mutu seperti BSNP, BAN, LPMP, aparat Pemerintah (Depdiknas), aparat Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan Nasional provinsi dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten/kota, serta satuan pendidikan itu sendiri. Namun demikian, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga independen lainnya yang peduli terhadap pendidikan juga diperkenankan untuk melakukan Monev, bekerjasama dengan pemerintah dan pemerintah daerah maupun mandiri.
Monev untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut, yaitu Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), BAN-S/M, BAD-S/M, BAN-PNF, BAD-PNF, BAN-PT dan LPMP.
Evaluasi terhadap kompetensi peserta didik lulusan dari pendidikan tingi, pendidikan formal, pendidikan kejuruan, vokasi, PNF dilaksanakan atas kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar tingkat relevansi lulusan dengan lapangan kerja yang tersedia semakin tinggi karena standar yang digunakan oleh LSP dan BNSP merupakan standar kompetensi nasional dan internasional.
E. Indikator Kinerja Pendidikan Nasional
Monev dilakukan terhadap kinerja satuan organisasi yang mencakup aspek teknis, administrasi dan pengelolaan kegiatan dan/atau program pendidikan tersebut. Monev yang dilakukan pada hakekatnya untuk mengukur kesesuaian pencapaian indikator kinerja atau target kerja yang ditetapkan dalam rencana jangka menengah (2005-2009) dengan target yang dapat dicapai melalui strategi pelaksanaan tertentu. Oleh sebab itu, indikator kinerja yang digunakan memiliki kriteria yang berlaku spesifik, umum, jelas, relevan, dapat dicapai, dapat dikuantifikasikan, dan dapat diukur secara obyektif serta fleksibel terhadap perubahan/penyesuaian.
Mengingat bidang pendidikan mempunyai program pembangunan pendidikan yang beragam, maka indikator kinerja yang diukur dapat bersifat fisik (misalnya: pembangunan prasarana dan sarana fisik, angka partisipasi siswa, angka mengulang kelas, dan angka putus sekolah) maupun nonfisik, misalnya, peningkatan nilai Ujian Nasional, serta kecerdasan dan perilaku peserta didik. Berdasarkan sifat dari masing-masing jenis indikator kinerja maka diperlukan cara dan alat ukur yang berbeda sesuai dengan sifat dan bentuk indikator yang akan diukur. Dalam bidang pendidikan, ada empat jenis indikator kinerja yang biasa digunakan sebagai acuan dalam Monev atau pengukuran kinerja organisasi, yaitu:
1. Indikator masukan, yang mencakup antara lain kurikulum, siswa, dana, sarana dan prasarana belajar, data dan informasi, pendidik dan tenaga kependidikan, gedung sekolah, kelompok belajar, sumber belajar, motivasi belajar, kesiapan anak (fisik dan mental) dalam belajar, kebijakan dan peraturan serta perundang-undangan yang berlaku.
2. Indikator proses, yang meliputi antara lain lama waktu belajar, kesempatan mengikuti pembelajaran, lama mengikuti pendidikan, jumlah yang putus sekolah, efektivitas pembelajaran, mutu proses pembelajaran, dan metode pembelajaran yang digunakan.
3. Indikator keluaran, yang terdiri antara lain jumlah siswa yang lulus atau naik kelas, nilai-rata-rata ujian, mutu lulusan yang naik kelas, dan jumlah siswa yang menyelesaikan pembelajaran/naik kelas berdasarkan jenis kelamin.
4. Indikator dampak, yang antara lain berupa kemampuan/jumlah siswa yang melanjutkan sekolah, jumlah siswa yang bisa bekerja di perusahaan atau usaha mandiri, jumlah angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan, dan pengaruh para lulusan terhadap mutu angkatan kerja/lingkungan sosial, peran serta siswa dalam pembangunan lingkungan dan pengaruh atau peran lulusan pendidikan dan pelatihan terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
Indikator kinerja yang dapat diukur dalam Monev juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga tema kebijakan nasional pendidikan, yaitu indikator (1) pemerataan dan perluasan kesempatan; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dan (3) governance, akuntabilitas dan pencitraan publik (Lihat Tabel 6.1 atau Tabel 6.2).
Program dan/atau kegiatan pendidikan yang baik memiliki lima kriteria yang bisa disingkat dengan SMART (Specific, Measureble, Achieveble, Realistic, Timebound). Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan indikator kinerja pendidikan yang terukur dan yang dapat dicapai sebagai target/sasaran masing-masing program. Dalam bidang pendidikan sangat banyak jenis indikator yang dapat digunakan sebagai cakupan dalam melaksanakan Monev (Lihat Tabel 6.2). Dari berbagai indikator tersebut dapat diringkas dan diperoleh indikator kunci/prioritas yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai target Renstra Depdiknas 2005-2009. Penyusunan indikator kunci ini untuk melihat tingkat pencapaian terhadap prioritas kebijakan, program dan kegiatan Departemen Pendidikan Nasional dalam mengimplementasikan program dan kegiatan pendidikan bersama dengan Pemda Provinsi dan kabupaten/kota serta peran serta masyarakat luas. Indikator kunci/prioritas yang dimaksud seperti tergambar pada Tabel 6.1.


Tabel 6.1
Indikator Kunci/Prioritas Untuk Mengukur Keberhasilan Dalam implementasi Kebijakan, Program dan Kegiatan dan Target tahun 2009

N- SASARAN INDIKATOR TARGET
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Perluasan Pendidikan APK Pra Sekolah 23,8% 24,42% 25,31% 26,27% 27,24% 28,2%
APK SD/PaketA/SDLB 114,88% 114,59% 114,89% 115,18% 115,47% 115,76%
APK SMP/PaketB/SMPLB 80,36% 82,89% 86,89% 90,62% 94,36% 98,09%
APK SMA/PaketA/SMALB 51,42% 54,32% 57,20% 61,25% 65,29% 69,34%
APK PT 14,62% 15,00% 15,57% 16,38% 17,19% 18,00%
Prosentase Buta Aksara >15 th 8,74% 8,21% 7,55% 6,70% 5,85% 5,00%
2 Pemerataan Pendidikan Indeks Disparitas APK PAUD 9,76 8,00 6,00
Indeks Disparitas APK SD
Indeks Disparitas APK SMP
Indeks Disparitas APK SMA/SMK
Indeks Disparitas APK PT
3 Mutu Pendidikan Rata-rata UN SD 6,71 6,85 7,00
Rata-rata UN SMP 6,30 6,45 6,75
Rata-rata UN SMA/SMK 5,31 5,50 5,80
Jumlah Prodi masuk 100 Besar
4 Relevansi Pendidikan Rasio jumlah murid SMK/SMA 65,76% 67,00% 69,00%
APK SMK 18,16% 19,00% 19,59%
APK Pendidikan Tinggi Profesi 0,756% 0,756% 0,756%
APK Pendidikan Tinggi Vokasi 0,378% 0,420% 0,466%
Jml peserta pend.Kecakapan Hidup 14,238% 14,582% 15,099%
5 Governance Jumlah kasus temuan oleh BPK,BPKP,Itjen 3.800 temuan 274 temuan
Jml Rp Kerugian neg. Temuan BPK, BPKP,Itjen 28,089 M 22,510 M
Jumlah Rupiah temuan yang diselesaikan 10.403 M 2.321 M









Tabel 6.2
Indikator Yang Lebih Rinci untuk Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pendidikan Nasional

Tema Kebijakan
Pendidikan Indikator Tingkat Pengukuran
I. Perluasan dan 1. APK PAUD Nasional, provinsi, dan
Pemerataan 2. APK SD/sederajat kabupaten/kota
3. APM SD/sederajat
4. APS SD/sederajat
5. APK SMP/sederajat
6. APM SMP/sederajat
7. APS SMP/sederajat
8. APK SM/sederajat
9. APM SM/sederajat
10. APS SM/sederajat
11. APK Mahasiswa
12. APM Mahasiswa
_ 13. Persentase transisi SD ke SMP,SMP
ke SMA dan SMA ke PT.
14. Persentase Menyelesaikan
pendidikan di SD, SMP,SMA, dan
sederajat serta di PT
15. Kesetaraan gender di semua jenis
dan jenjang pendidikan.
16. Rasio APK/APM kota berbanding
desa
17. Angka partisipasi siswa berdasarkan
pendapatan keluarga di setiap satuan
pendidikan.
18. Angka melek aksara berdasarkan
usia, gender, desa-kota dan kelompok
pendapatan
19. Angka melanjutkan lulusan SD, SMP,
SMA/SMK
20. APK anak yang memerlukan
perhatian khusus(baik melalui
pendidikan khusus atau pendidikan
inklusi)
21. Angka partisipasi masyarakat pada
lembaga kursus menurut jenis
keterampilan
22. Partisipasi masyarakat terhadap
Taman Bacaan masyarakat (TBM)




Nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
II. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
1. Rasio siswa : guru di SD,SMP,SMA,SMK 2. Rasio guru yang memiliki sertifikat profesi
3. Persentase guru berdasarkan tingkat pendidikan
4. Persentase/Angka Mengulang kelas
5. Persentase/Angka putus sekolah
6. Rasio siswa : kelas/sekolah
7. Rasio siswa: buku pelajaran
8. Rasio sekolah : perpustakaan
9. Rasio sekolah: lab. Bahasa, Lab. IPA, Lab. kimia, Lab. biologi, lab. Fisika, dan fasilitas olahraga
10. Rata-rata nilai UN dan US siswa a. SD/Sederajat
b. SMP/Sederajat c. SMA/Sederajat 11. Persentase rata-rata lulusan: a. SD/Sederajat
b. SMP/Sederajat c. SMA/Sederajat 12. Jumlah sekolah yang berkeunggulan lokal
13. Jumlah sekolah dengan taraf intemasional
14. Jumlah kursus dengan taraf intemasional
15. Jumlah PT dengan taraf intemasional 16. Rasio PTN dan PTS yang terakreditasi A atau B.
17. Persentase PROM yang masuk 10 besar Asia.
18. Persentase siswa SMK: Siswa SMA 19. Rasio dosen dengan kualifikasi S2/S3 20. Rata-rata lama penyelesaian studi di PT
21. Lama masa tunggu rata-rata lulusan PT sampai mendapatkan pekerjaan 22. Persentase angkatan kerja lulusan: a. Tamat/Tidak tamat SD/Sederaja/gender
b. Tamat/Tidak tamat SMP/sederajat/gender c. Tamat/tidak tamat SMA/sederajat/gender 23. Tamat/tidak tamat PT/gender
24. Persentase sekolah yang memiliki akses intemet
25. Kondisi PT (Negeri dan swasta)


26. Persentase lokal/ruang kelas yang
rusak berat di SD, SMP, clan
SMA/SMK.
27. Persentase melek huruf fungsional
orang dewasa
28. Jumlah hak paten penelitian dari
Peneliti di Indonesia
29. Mempertahankan prestasi peserta
Olimpiade Internasional yang sudah
baik.
30. Meningkatnya prestasi pelajar
Indonesia ditingkat regional maupun
internasional
31. Pemanfaatan ICT untuk pengelolaan
clan pembelajaran di PT clan Sekolah
III. Governance, 1. Persentase kenaikkan anggaran Nasional, provinsi, clan
Akuntabilitas, pendidikan setiap tahun kabupaten/kota
clan Pencitraan 2. Persentase penyerapan anggarana
Publik pendidikan setiap tahun
3. Persentase penyelesaian temuan
aparat pengawasan
4. Persentase kontribusi masyarakat
pada pembiayaan pada pendidikan
menengah clan tinggi
5. Rasio biaya gaji dengan biaya
operasional di luar gaji
6. Persentase Komite Sekolah clan
Dewan Pendidikan yang berfungsi
dengan baik.
7. Jumlah satuan pendidikan clan
lembaga pendidikan yang
memperoleh sertifikat ISO
8. Persentase Kabupaten/Kota yang
memiliki Renstra
9. Persentase Kabupaten/Kota Yang
melakukan audit Kinerja clan
keuangannya
10. Persentase Kabupaten/Kota yang
melakukan review kinerja tahunan
11. Persentase Kabupaten/Kota yang
mempunyai kesepakatan kinerja
12. Persentase Komite Sekolah yang
rapat sebulan sekali
13. Persentase Sekolah yang
melakukan audit kinerja clan
keuangan
14. Persentase Pendidik clan Tenaga K
yang memiliki penilaian kinerja
15. Persentase PTN yang sudah


126

otonomi
Persentase PT yang melakukan audit kinerja dan keuangan Rasio biaya kompensasi Guru: Biaya Dikdas
Persentase biaya publik per-siswa (%) dari. GDP per kapita)
Rasio biaya publik untuk pendidikan Total GDP
Kontribusi anggaran untuk pendidikan
o Pemerintah pusat
o Pemda
o Masyarakat
16. 17. 18. 19. 20.

Persentase anggaran Dikdas dibanding Total anggaran pendidikan
Jumlah Temuan Indikasi Korupsi Jumlah kerugian negara dalam rupiah
Persentase uang negara yang diselamatkan
Jumlah pegawai yang terkena sangsi
Jumlah keluhan clan ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah Meningkatnya appresiasive publik terhadap kebijakan dan program pemerintah









Indikator-indikator tersebut di atas merupakan ukuran kinerja sektor dan program pendidikan yang akan digunakan sebagai bahan untuk monitoring dan evatuasi pembangunan pendidikan jangka menengah. Suatu sistem monitoring petaksanaan program pendidikan pertu ditengkapi dengan mekanisme pendataan, analisis data, dan pelaporan. Demikian puta tangkah tindak lanjutnya pertu ditaksanakan pada masing-masing program setiap tahun. Hasil­hasit monitoring tahun tersebut merupakan bahan untuk metakukan evatuasi pertengahan masa dan evaluasi akhir pembangunan pendidikan jangka menengah
DAFTAR PUSTAKA
1. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional: Proyeksi Guru Tahun
2003/2004 - 2009/2010. Jakarta : Batitbang, Depdiknas, 2004
2 ------,Proyeksi Pendidikan Tahun 2003/2004 - 2009/2010. Jakarta Balitbang, Depdiknas, 2004
3. ------,RPP tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
4. ------, RPP tentang Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
5. ------, RPP tentang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
6. ------, RPP tentang Wajib Belajar. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
7. ------, RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan. Jakarta Balitbang, Depdiknas, 2005
8. ------, Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK, Tahun Pelajaran 2004/2005. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
9. ------, Evaluasi Pelaksanaan Program Tahun 2004 - 2005 dan Rencana Program 2006. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
10. ------, Wajah Pendidikan Bangsa : Hasil Survay Pendidikan Nasional 2003 Tingkat Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005
11. Bappenas, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Bappenas,2005
12. BPS, Bappenas & UNDP, Laporan Pembangunan Manusia Indonesia Ekonomi dari Demokrasi, Membiayai Pembangunan Manusia Indoenesia. Jakarta : BPS, Bappenas dan UNDP, 2004

13. Depdiknas, Kumpulan Hasil Presentasi Unit Utama Depdiknas pada Rapat Kerja Nasiona( Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Depdiknas, 2005
14. ------, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Balitbang, Depdiknas, 2003
15. ------, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Sesjend, Depdiknas, 2005-08-22 Balitbang,
16. Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004 - 2009. Jakarta Depnakertrans, 2005
17. ------, Rencana Tenaga Kerja Nasional Tahun 2005. Jakarta Depnakertrans, 2004
18. Ditjen PLSP Depdiknas, Program Pendidikan Luar Sekolah Tahun 2006. Jakarta : Ditjen PLS, 2005
19. Ghozali, Abbas, dkk, Analisis Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2004
20. Mc Mahon, Education Sector Review. Jakarta: Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional, 2002
21. SAKERNAS BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Labor Force Situation in Indonesia. Jakarta : BPS, 2004
22. Setjen. Depdiknas, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Anggaran di Lingkungan Depdiknas. Jakarta, 2005
23. Sudibyo, Bambang, Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional: Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta 2005
24. UNESCO, The Dakkar for Action ; Education For Me ; Meeting Our Collective Commitment. France: Unesco, 2000